JAKARTA, REPORTER.ID – Anggota Panja RUU Cipta Kerja (Ciptaker) DPR RI, Firman Soebagyo menyatakan bahwa Undang-Undang (UU) Ciptaker yang pekan lalu disahkan oleh DPR RI, tidak mengalami perubahan. Terkait adanya perubahan halaman, ia menjelaskan bahwa hal tersebut hanya persoalan teknis semata, sehingga masyarakat di Tanah Air saat ini tak perlu mengkhawatirkannya.
“Sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penulisan draft RUU harus sesuai standardisasi yang diatur dalam UU. Yaitu diketik dengan jenis huruf Bookman Old Style, size 12 dan dicetak di kertas F4. Tidak ada substansi yang berubah. Karena penyesuaian huruf dan kertas maka jumlah halaman berubah. Selama pembahasan ada yang menggunakan kwarto jadi tidak sesuai,” ungkap Firman kepada wartawan di Jakarta, Rabu (14/10/2020).
Hal teknis itu, menurut Firman yang membuat jumlah lembaran UU Ciptaker seperti tidak sama. Dirinya juga menjelaskan jika tim perumus dan tim sinkronisasi tidak boleh menambah dan mengurangi.
“Mereka hanya melihat sistem penulisannya saja. Tim ini melibatkan ahli bahasa dan ahli bahasa hukum. Ahli bahasa melihat, apakah yang ditulis dalam draft RUU sudah sesuai dalam kamus bahasa Indonesia, sebab jika tidak bisa menimbulkan persepsi yang berbeda,” ujar anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Golkar (F-PG) itu.
Firman juga menyatakan jika setelah Pleno dan dibawa ke Paripurna, draf RUU langsung dikerjakan guna menyesuaikan aturan penulisan baku dalam UU dan baru selesai Senin malam. Tentang adanya anggota Panja yang mengaku belum menerima draf RUU Ciptaker, ia justru balik tanya.
“Anggota Panja yang belum terima draft di rapat paripurna hadir secara fisik atau tidak? Yang jelas sudah dibagikan semua ke Kapoksi masing-masing,” ungkapnya seraya juga menolak adanya anggapan jika RUU Ciptaker dibuat terkesan terburu dan dipaksakan.
Firman sendiri menyatakan, UU Cipta kerja digagas sebelum pandemi. Hal itu tertuang dalam pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo 16 Agustus dan sewaktu pelantikan anggota DPR periode ini.
Kemudian, DPR membahas dan memasukkannya dalam Prolegnas prioritas tahunan. Pemerintah sendiri sudah menyusun Naskah Akademis. Kemudian 24 April 2020, Raker pertama diselenggarakan.
“Sejak saat itu dibahas non-stop, karena Undang-Undang ini dianggap penting untuk memperbaiki ekonomi, untuk menghadapi situasi bangsa yang sedang terpuruk di masa pandemi, bahkan saat reses pun kita lembur,” ungkapnya.
Firman kembali menegaskan jika RUU Ciptaker ini adalah satu-satunya UU yang dibahas secara terbuka. Publik bisa melihat dan mengakses melalui zoom di media sosial maupun TV Parlemen DPR RI.
“Pakar, ahli, pelaku usaha, Apindo, buruh, semua sudah diundang. Pemerintah juga sudah melakukan konsultasi publik,” tambah Firman.
Persoalan ada yang kurang setuju atau menolak, tentu bisa melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Firman pun menolak anggapan jika para Hakim Konstitusi akan bertindak tidak fair saat memeriksa kasus ini. Apalagi ada yang mulai mendiskreditkan MK karena DPR sudah memberikan janji tertentu untuk hakim-hakim MK.
“MK itu hakimnya ada sembilan orang. Ada yang background-nya perguruan tinggi, ada yang profesional,” tutur Firman.
Anggota Fraksi Golkar DPR RI dari daerah pemilihan Jawa tengah III itu meminta publik untuk mempercayai niat baik dari UU Cipta Kerja. Hal itu pula yang membuat yakin UU ini tak akan mengalami masalah.
“Saya bukan hakim MK. Sebagai anggota DPR norma yang kita atur dalam RUU Cipta Kerja sudah benar. Sebagai pembuat Undang-Undang kami harus membela apa yang sudah kami buat sebagai bentuk pertanggungjawaban secara politik sesuai hukum politik nasional kita. Benar atau salah itu domain-nya hakim. Kita tidak punya hak untuk mengomentari itu,” pungkas Firman. ***