Distorsi Demokrasi

oleh
oleh

Oleh Zainal Bintang

 

Persetujuan  DPR RI atas UU Cipta Kerja dalam sidang pleno 5 Oktober 2020 sudah diketok. Banyak kalangan menganggap keputusan itu dipaksakan. Menimbulkan ekses unjuk rasa hari – hari berikutnya. Melibatkan kalangan buruh, mahasiswa dan pelajar  serta masyarakat. Berujung kerusuhan dan kerusakan.

Ratusan provokator unjuk rasa anarkis ditindak. Sejumlah mahasiswa, pelajar dan tokoh aktivis diamankan polisi. Kebebasan berpendapat masyarakat sipil ikut – ikut “terborgol”.

Adu argumentasi dan polemik terbuka di ruang publik antara  pejabat negara dengan aktor non negara memanas. Bukan hanya sejumlah fasilitas umum mengalami kerusakan. Harmoni masyarakat dan diskursus publik juga menderita kerusakan. Sikon politik dilanda ketegangan. Mitigasi bencana pandemi tersendat. Masyarakat terbelah. Nasib demokrasi dipertanyakan.

Ada apa  dengan  demokrasi di Indonesia? Apakah telah terjadi evolusi proses  pelemahan demokrasi?

Sejumlah analisis ilmuan dan pakar politik dalam dan luar negeri menyebutkan demokrasi di dunia sedang mengalami kemunduran. Nancy Bermeo ilmuwan politik Amerika menyebutkan telah terjadi “kemunduran demokrasi” atau sedang terjadi semacam  erosi demokrasi (democratic erosion).

Pada salah satu artikelnya  “On Democratic Backsliding” (Kemunduran Demokrasi),  ia berkata, bahwa  bentuk kemunduran demokrasi yang mencolok, seperti yang klasik ; kudeta terbuka dan penipuan hari pemilihan, telah menurun sejak akhir Perang Dingin. Tapi, sementara itu bentuk kemunduran yang lebih halus dan “menjengkelkan” telah meningkat.

Bentuk kemunduran yang terakhir,  menurutnya,  “melibatkan kelemahan lembaga – lembaga demokrasi dari dalam. Bentuk-bentuk halus ini sangat berbahaya ketika mereka dilegitimasi melalui institusi yang seharusnya melindungi nilai-nilai demokrasi,” ujarnya dalam artikel itu yang dipublikasi “Journal of Democracy – Johns Hopkins University Press  (January 2016).

Mengutip laporan Freedom House (2020) peneliti  Burhanuddin Muhtadi (43)  dalam tulisannya  “Demokrasi Berakal Budi” (Kompas, 2020)  menyebut,  dunia sedang dilanda resesi demokrasi. Kini, peringkat demokrasi Indonesia terjerembab ke peringkat 64 dengan skor hanya 6,39. Artinya, kata Direktur Eksekutif  Indikator Politik itu, kita berada di dasar paling bawah kategori  “flawed democracies” (negara demokrasi yang cacat).

Menurut lembaga pemeringkat demokrasi terkemuka di dunia  yang dikutipnya, “rapor merah Indonesia terletak pada kebebasan sipil dan kultur politik, terutama menguatnya intoleransi dan politik identitas”.

Berbicara tentang kemunduran demokrasi, jauh sebelum Muhtadi, telah lebih dahulu Aurel Croissant (professor ilmu politik Universitas Heidelberg, Jerman) bersama Larry Diamond (sosiolog politik Amerika) menulis : “Introduction: Reflections on Democratic Backsliding in Asia”  (Global Asia Maret 2020). Di seluruh dunia, kata mereka, demokrasi sedang menghadapi masa-masa sulit.

Adapun tantangannya, diuraikan, terkait : kualitas demokrasi sedang menurun di sejumlah negara demokrasi maju dan baru, dan laju kegagalan demokrasi semakin cepat. Pada saat yang sama, keterbukaan demokrasi sedang dibatalkan dalam sistem politik yang sebelumnya mengalami semacam liberalisasi politik, dan otokrasi kembali mengeras. “Kemerosotan pemerintahan demokrasi telah menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan, aktivis , akademisi dan warga di seluruh dunia”.

Persetujuan DPR RI atas UU Cipta Kerja dengan  format omnibus, yang dikampannyekan oleh pemerintah, termasuk presiden Jokowi ,bahwa  sesungguhnya bertujuan menciptakan “pemerataan kenyamanan”. Namun pada kenyataanya meleset  malah menimbulkan “pemerataan kemarahan”  masyarakat yang direpresentasi kalangan buruh, mahasiswa dan bahkan pelajar.

Ekses  buruk  penolakan publik terhadap UU Cipta Kerja  memantik kembali  “pembelahan” masyarakat. Menandai  kemunduran demokrasi atau lahirnya “flawed democratic”.

Mengapa  elemen mahasiswa bangkit  membangun  “perlawanan” masif   mengambil alih urusan protes  kalangan buruh?  Benang merahnya ada pada,  karena  mahasiswa dan pelajar itu adalah putra – putri kaum buruh. Ini yang  menjelaskan mengapa mereka sangat sensitif  dan tidak bisa dipisahkan dari  penderitaan dan perjuangan kaum buruh.

Inilah mengapa mahasiswa dan pelajar itu lebih mudah tersentuh merasakan ancaman ketidakadilan yang tersimpan di dalam UU Cipta Kerja. Konsistensi perlawanan mahasiswa yang diperlihatkan dalam kasus penolakan UU Cipta Karya, dapat dibaca sebagai  jawaban atas kekalahan mereka di dalam berbagai momentum unjuk rasa sebelumnya.

Kasus jatuhnya korban dua orang mahasiswa yang  tewas tertembak aparat pada unjuk rasa mahasiswa (26/09/2019) di Kendari, Sulawesi Tenggara karena menentang revisi UU KPK menorehkan luka pada  mahasiswa maupun terhadap demokrasi itu sendiri.

Kontroversial UU Cipta Kerja membuka ruang  mahasiswa membangun integrasi konsolidasi  nasional guna menjawab panggilan sejarah. Sebagai jaringan rantai pasok energi perjuangan masyarakat sipil (civil society) melawan ketidakadilan yang beririsan dengan pelemahan demokrasi.

Gerakan mahasiswa yang spontan dan merata di seluruh Indonesia  menentang  ketidakadilan memperkuat jaringan lapisan  perjuangan masyarakat sipil untuk melindungi demokrasi dari upaya pelemahan sistemik negara.

Indikasi pelemahan demokrasi secara pelan tapi pasti, gejalanya  mulai terlihat pada tahun terakhir dan awal pemerintahan kedua Jokowi, merujuk kasus pemaksaan berlakunya revisi UU KPK disusul beberapa UU  berikutnya yang  menihilkan  partisipasi dan aspirasi publik.

Menurut Marcus Mietzner Associate Professor di Australian National University, Australia, “Dalam kasus Indonesia, eksekutif  juga menggunakan polarisasi ini untuk membenarkan tindakan yang semakin tidak liberal. Kombinasi, polarisasi dan peningkatan illiberalisme eksekutif telah mengurangi sumber daya aktivis masyarakat sipil Indonesia, mempercepat kemunduran demokrasi negara dalam proses tersebut” ( “Sources of Resistance to Democratic Decline : Indonesia Civil Society and Its Trials” – Juli 2020)

Situasi kenegaraan dan kebangsaan  kita hari ini harus diakui sedang berada “di ujung tanduk”.  Mahasiswa sebagai kekuatan perubahan dan elemen idealis, diyakini  menyatukan dirinya pada politik kebangsaan, bukan pada politik partisan.  Mereka menentang ketidakadilan  guna menghindarkan  demokrasi  mengalami distrosi.

Harus ada jalan tengah menghentikan mata rantai kerusuhan. Semua pihak, terutama  pemimpin eksekutif  dan pemimpin legislatif, yang terpilih karena ada suara dari rakyat,   agar ikhlas  membungkukkan badan sedikit saja. Mengulurkan tangan  menyapa mahasiswa yang relatif  adalah anak – anak mereka, para calon pemimpin bangsa, maka diyakini bara ketegangan dapat diredupkan.

Budaya saling menghargai, saling menghormati dan saling meninggikan sebagai cerminan peradaban tinggi ketimuran yang mengIndonesia wajib hukumnya  mengemuka. Adalah tanggung jawab  pemimpin mencontohkannya.

Di dalam masyarakat modern yang berkeadaban, apalagi  dalam konteks penggunaan hak  masyarakat berpendapat,  tentu saja  budaya borgol dan water canon serta gas airmata tidak sepantasnya selalu  disuruh bicara. Ini  untuk menghindari pertentangan yang berpotensi menyeret semua pihak  ke dalam jebakan budaya  primitif. (Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya)

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *