Oleh Zainal Bintang
Tahun pertama pemerintahan jilid kedua Jokowi bersama Maruf Amin dapat dikatakan terperangkap ke dalam dua masalah yang sangat serius.
Pertama, kasus Pandemi 19 yang melumpuhkan roda ekonomi dan berdampak kepada ekonomi masyarakat sejak sembilan bulan yang lalu dan sampai sekarang masih sempoyongan.
Kedua, adanya penolakan besar –besaran kalangan buruh, mahasiswa yang melibatkan pelajar dan masyarakat pada umumnya, terhadap persetujuan UU Cipta Kerja dengan format Omnibus, di mana 76 UU eksisting diperas menjadi satu UU yang banyak diistilahkan sebagai sapujagat.
Upaya pemerintah mengendalikan unjuk rasa penentang UU Cipta Kerja dianggap oleh banyak kalangan berlebihan dan disebut represif.
Kebebasan berpendapat masyarakat yang disediakan konstitusi malah dibungkam dengan tindakan kekerasan aparat di lapangan. Mencuatkan fenomena kontroversi diantara ekspresi dengan represi. Konflik terbuka masyarakat sipil dengan negara mendorong diskursus menyoal kualitas demokrasi. Muncul penilaian demokrasi mengalami kemunduran (democratic backsliding).
Prof. Jimly Asshidiqie menyebut tindakan pemerintah di dalam mengelola demokrasi menunjukkan gejala “diktator” konstitusional. “Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah bersama DPR menunjukkan gejala “diktator” konstitusional. Walaupun ada proses demokrasi formal, proses pembuatan kebijakan dilakukan tanpa melibatkan publik,” kata pakar hukum tata negara itu saat berbicara di dalam salah satu acara diskusi.
Jimly menunjuk 5 UU yang dibentuk pemerintahan Presiden Jokowi seperti UU Mahkamah Konstitusi, UU KPK, UU Minerba, UU Penanganan Covid-19, dan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
“Ada situasi di mana proses demokrasi dibajak selama era pandemi ini. Perundang-undangan dibuat tanpa pelibatan publik, yang penting mengikuti syarat formal di mana hal terpenting adalah DPR sudah menyetujui. Masyarakat pun saat ini terbelah menjadi dua kelompok yaitu ‘haters’ dan ‘lovers’. Ini bisa merusak demokrasi ke depan,” ujarnya.
Presiden Jokowi mengakui persetujuan DPR atas RUU Cipta Kerja menjadi UU pada 5 Oktober 2020 lalu tidak memuaskan semua pihak. Ia pun meminta kepada mereka yang menolak isi UU Cipta Kerja untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Jika masih ada ketidakpuasan terhadap UU Cipta Kerja, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui Mahkamah Konstitusi”.
Menurut Jokowi pemerintah meyakini UU Cipta Kerja adalah solusi Indonesia dalam masalah kebutuhan penyerapan tenaga kerja.
Intensitas langkah Presiden mendorong kasus UU Cipta Kerja – maupun atas beberapa UU sebelumnya – agar digugat melalui jalur konstitusional di MK, merupakan gejala politik baru di dalam kehidupan konstitusionalisasi atau juristocracy menjadi hal yang menarik untuk ditelisik.
Sebagai inisiator UU, pemerintah selaku eksekutif kelihatannya lebih memilih menghindar berhadapan dengan publik (masyarakat sipil) penolak UU itu.
Sebagai eksekutif, pemerintah sejak awal memilih mendorong legislatif (DPR) yang tampil berhadapan di front terdepan pertama dengan publik. Setelahnya, melemparnya lagi ke pangkuan yudikatif (MK). Pihak eksekutif cenderung maunya terima bersih alias dalam keadaan welldone atau siap saji.
Nampaknya telah terjadi suatu disharmonisasi mekanisme trias politica sesuai teori Montesquieu,- tentang pemisahan kekuasaan – yang tercederai dan berjalan pincang. Karena nyaris seluruh beban perubahan kebijakan politik melalui jalur konstitusionalisasi lebih banyak ada pada legislatif dan yudikatif.
Ilmuwan politik Kanada dari Universitas Toronto, Ran Hirschl dalam bukunya “Towards Juristocracy” : “The Origin Consequences of The New Constitutionalisme,” mengatakan “Konstitusionalisme Baru” di negara-negara dan entitas supranasional di seluruh dunia, reformasi konstitusional telah mengalihkan kekuasaan dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya dari lembaga perwakilan ke lembaga peradilan.
Konstitusionalisasi hak dan pembentukan peninjauan kembali secara luas diyakini memiliki asal muasal yang baik dan progresif, serta konsekuensi penyebaran kekuasaan yang signifikan yang disebut “Menuju Juristokrasi” menantang kebijaksanaan konvensional ini.
Berdasarkan penyelidikan komparatif yang komprehensif tentang asal-usul politik dan konsekuensi yurisprudensial dari revolusi konstitusional baru – baru ini di Kanada, Israel, Selandia Baru, dan Afrika Selatan, bukunya itu (2004), menunjukkan bahwa tren ke arah konstitusionalisasi hampir tidak didorong oleh komitmen tulus politisi terhadap demokrasi, sosial, keadilan, atau hak universal.
Profesor ilmu politik dan hukum dalam bukunya itu, menunjukkan bahwa meskipun konstitusionalisasi hak dapat mendorong keadilan prosedural dan kebebasan negatif, hal itu tidak banyak membantu untuk memajukan gagasan progresif tentang keadilan distributif. Pada saat yang sama, pemberdayaan peradilan melalui konstitusionalisasi berdampak transformatif pada wacana politik.
Olehnya, dari identitas kolektif yang mendasar dan masalah pembangunan bangsa hingga keadilan restoratif dan kontroversi perubahan rezim, pengadilan konstitusional telah menjadi forum penting untuk menangani pertanyaan paling mendasar yang dapat direnungkan oleh pemerintahan demokratis.
Ditegaskannya, agaknya yang paling baik dipahami, sebagai produk dari interaksi strategis antara (1) elit politik yang hegemonik namun terancam, (2) pemangku kepentingan ekonomi yang kuat, (3) dan pemimpin peradilan, koalisi tripartit yang mementingkan diri sendiri ini menentukan waktu, jangkauan, dan sifat reformasi konstitusi.
Yang banyak disorot oleh para pakar konstitusi adanya langkah pragmatis yang diambil Presiden Jokowi dengan memanfaatkan semangat “juristocracy” dari rahim “konstitusionalisasi baru”, sebagai pintu keluar dari tanggung jawab atas sebuah proses legislasi. Karena mendapatkan penolakan keras dari publik, khususnya yang saat ini lagi memanas terkait dengan UU Cipta Kerja, presiden memilih masalah itu diselesaikan melalui proses yudicial review (uji materi) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Presiden lebih memilih menumpang di jalan tol konstitusionalisasi yang terbuka sebagai hasil amandemen UUD 1945, yang menghadirkan lembaga MK sebagai pemutus sahih setelah dipisahkan dari Mahkamah Agung (MA).
Presiden menghindar menggunakan mekanisme penyelesaian melalui kekuasaan politik eksekutif dengan menarik UU itu melalui instrumen Perppu ataukah jalur executive review. Ada kesan pemerintah secara sadar menghindari perbenturan langsung dengan protes publik untuk menjaga citra populis yang selama ini menjadi andalan untuk memelihara legitimasi elektoral.
Unsur subjektifitas yang melekat sebagai eksekutif pada diri Presiden selaku inisiator diyakini akan mengurangi bobot objektifitas manakala kemenangan pemerintah melawan protes publik melalui jalur executive review, pastilah tidak terhindarkan. Hal mana mengandung resiko menggerus popularitas Presiden.
Menambah lebarnya luka psikologis yang sudah tertoreh yang timbul dari rangkaian proses UU terdahulu yang minus partisipasi publik. Jokowi terlihat sangat menyadari akan adanya potensi ancaman defisit citra itu.
Fungsi dan peran MK sadar atau tidak berubah menjadi benteng perlindungan kekuasaan eksekutif. Ini resiko guna menghindarkan terjadinya benturan head to head antara Presiden dengan masyarakat sipil.
Soalnya, melalui otoritas MK yang premis major sebagai lembaga independen, masyarakat akan dapat lebih mudah menerima putusan pengadilan.
Apalagi putusan MK bersifat erga omne atau berlaku untuk semua sejak putusan dibacakan oleh hakim MK. Jelas ini adalah sebuah strategi yang dirancang pihak eksekutif untuk memenangi sengketa hukum yang sarat muatan politis dan karenanya cara – cara tersebut berbau “diktator” konstitusional terselubung.
Oleh karenanya pula, maka tidak ada yang salah apabila ada suara miring dari ranah publik yang mengaitkannya dengan revisi UU MK yang konon tanpa sebab musabab itu. Karena bagaimanapun kasus itu tetap tidak bisa menghapus kesan adanya injeksi keuntungan substansif kepada lembaga itu.
Dan, untuk kesekian kalinya masyarakat Indonesia mendapatkan tontonan – yang oleh banyak kalangan dikritisi – sebagai sinetron “badut politik” gratis yang bergerak di dalam pusaran skenario “politik lari berputar”, yang bertujuan untuk menyamarkan “siapa yang mengejar siapa”. (Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya)