Oleh : Marsda TNI (Pur) Prayitno Wongsodidjojo Ramelan
Pengamat Intelijen
Proses siapa yang akan menjadi presiden Amerika hampir mencapai puncak, siapa yang akan berkuasa dari Partai Republik atau Demokrat? Kebijakan politik luar negeri Donald Trump dari Partai Republik banyak yang sudah faham, walau mungkin akan bergeser nenyesuaikan perkembangan situasi.
Nah kalau Biden dari Partai Demokrat yang menang, nampaknya akan ada perubahan yang terjadi, khususnya Politik Luar Negeri, karena ini sosok politisi berpengalaman, berusia 78 tahun. Perannya dalam urusan luar negeri saat menjadi Wapresnya Obama sangat besar. Mari kita lihat sekilas tentang pilpres di Amerika serta kaitannya dari perspektif intelijen.
Sistem Pilpres di Amerika
Presiden AS tidak dipilih secara langung oleh masyarakat, melainkan oleh lembaga yang dikenal dengan istilah electoral college atau lembaga pemilih. Jadi seorang calon presiden Amerika Serikat yang mendapatkan suara terbanyak dari masyarakat belum tentu memenangkan pemilihan presiden.
Contoh gamblang, saat perhitungan suara Pilpres AS, Hillary Clinton vs Donald Trump, saat itu hingga Rabu (23/11/2016) menunjukkan, Hillary Clinton, kandidat dari Partai Demokrat pada Pilpres AS saat itu, unggul suara atas presiden terpilih, Donald Trump, dengan selisih 2.017.563 suara. Tetapi Trump yang memenangkan jabatan dan masuk Gedung Putih setelah unggul di negara-negara bagian yang memiliki suara elektoral yang membuatnya menjadi Presiden ke-45 Amerika Serikat.
Kekalahan itu terjadi karena Konstitusi AS yang berumur dua abad menetapkan sistem lembaga perwakilan pemilih, atau electoral college, untuk memilih presiden. Pilpres AS pada hakikatnya adalah pemilu terpisah di masing-masing dari 50 negara bagian dan ibu kota, Washington DC, dengan pemenang di setiap negara bagian meraup semua suara dalam electoral college.
Untuk memperoleh kemenangan diperlukan mayoritas sekurangnya 270 dari 538 suara electoral, dengan negara-negara bagian terbesar paling berpengaruh pada hasilnya Trump memenangi beberapa negara bagian dengan selisih suara kecil, sementara Hillary, mantan Menlu AS yang ingin menjadi presiden perempuan pertama AS, menang dengan selisih suara besar di California dan New York. Ini menyebabkan Hillary mendapat suara terbanyak secara nasional, sementara Trump memenangi suara elektoral 306 setelah hasil-hasil di setiap negara bagian selesai dihitung.
Trump VS Joe Biden
Hasil quick count pemilihan Presiden Amerika Serikat per 5 November 2020 pukul 08.30 WIB mencatat, Joe Biden dari Partai Demokrat sementara unggul dengan mengantongi 264 electoral votes. Sementara Donald Trump dari Partai Republik meraih 214 electoral votes. Hingga saat ini tersisa lima wilayah yang belum menyetor hasil pemungutan suara. Wilayah tersebut yakni:
-Alaska dengan 3 electoral votes
– Georgia dengan 16 electoral votes
– North Carolina dengan 15 electoral votes
– Pennsylvania dengan 20 electoral votes
– Nevada dengan 6 electoral votes.
Nah, dari data, nampaknya Joe Biden akan lebih berpeluang menang dalam pilpres kali ini. Tetapi sebagai negara super power, banyak sekali pihak yang juga berkepentingan terhadap siapa yang bakal menang. Baik dari kepentingan dan kebijakan diantara dua Partai, kepentingan negara lain, kepentingan keluarga -meluarga raksasa yang power full di Amerika.
Salah satu mungkin yang perlu kita perhatikan, titik rawan Donald Trump sebagai petahana adalah masalah belum teratasinya covid. AS menjadi negara terparah terkena pandemi Covid19, juga masalah menonjol soal rasialis, dan masalah perbedaan sudut pandang dengan intelijennya tentang awal merebaknya virus di Wuhan. Ini besar pengaruhnya, karena salah satu tugas intelijen adalah memilih dan membantu menjadikan siapa pimpinan nasional sebuah negara.
Jadi, apakah Biden akan menang? Maybe yes, tapi kalau prediksi intelijen bisa belum tentu juga. Makin besar sebuah negara, makin besar kepentingan banyak pihak, makin complicated, sulit meramalnya. Nah, yang penting bagi pemimpin di Indonesia, sebaiknya dipersiapkan dua skenario siapapun yang menang. Konsep bilateral seperti apa, ini masalah yang sangat penting, dan jelas tidak boleh salah membaca.
Polugri, diplomasi adalah pekerjaan institusi Kemlu dengan ujung tombak intelijen. Saat ini menurut senior penulis, intelijen negara-negara besar itu sudah berevolusi, apakah kita juga demikian? Ini sangat terkait dengan sudut pandang tidak selalu konservatif (tidak kadaluarsa hanya fokus ngurusi ekstrim kiri dan kanan saja).
Penulis kira beliau-beliau faham tentang perkembangan geopolitik dan geostrategi kawasan khususnya. Pemerintahan di Amerika siapapun yang berkuasa, jelas akan membutuhkan Indonesia di tengah kancah dua kekuatan antara China (RRT) versus QUAD (AS, India, Jepang, Australia), yang masing-masing sudah memiliki konsep strategis di kawasan regional dengan membagi blok wilayah regional.
Kita sadari bahwa Indonesia menjadi pusat konflik kepentingan mereka yang berseteru. Pertanyaannya, sudah siapkah konsep intelijen strategis serta diplomasi dalam menerapkan Polugri bebas dan aktif dengan cara pandang digital? Semoga bermanfaat. Pray Old Soldier.