Kemenangan Biden, Akhir dari Ketegangan Tiongkok-AS?

oleh
oleh
Presiden AS terpilih, Joe Biden.
Teddy Mihelde Yamin.

SAMPAI dengan saat ini Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump yang kalah dari rivalnya Joe Biden di Pilpres AS baru-baru ini, masih ogah menyerah dan mengakui kekalahan dari Biden. Mungkin saja dia sedang mencari cara yang elegan untuk keluar dari berbagai dampak ikutan dari kekalahan tersebut. Biarkan saja, sementara kita sebaiknya fokus dengan diri kita sendiri.

Apakah ketegangan Tiongkok dan AS akan segera berakhir dengan naiknya Biden? Perkiraan saya tidak juga, tetapi barangkali tidak dalam kondisi perang dagang terbuka seperti yang diartikulasikan Trump saat ini, ketika dia berkuasa. Karena sebenarnya ketegangan tersebut tak lagi terbatas pada masalah perdagangan, tetapi lebih pada rivalitas raksasa ekonomi dunia. Rasanya siapapun yang berkuasa di negara adidaya itu, hal semacam itu sudah menjadi naluri dan kesepakatan bersama mereka.

Mengingat perdagangan (ekspor impor) Indonesia suka tidak suka terkait dengan pasang surutnya hubungan dagang China – AS. Indonesia bisa apa, setelah dikonfirmasi BPS bahwa ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 3,49 % year-on-year pada triwulan ketiga 2020 ini? Nggak ada cara lain, kecuali pemerintah fokus saja meningkatkan potensi yang ada dalam negeri sendiri, fokus ke dalam pengembangan ekonomi domestik.

Kesadaran tersebut penting mengingat perlunya mitigasi kebijakan yang rasional; dengan prioritas utama menyehatkan sumber daya manuasia (SDM). Karena ekonomi tak mungkin kembali normal, tanpa penanggulangan pandemi virus corona atau Covid-19, yang serius dan terpadu. Kemudian amankan sumber daya alam (SDA), dengan menghentikan bermacam muslihat dalam pemberian berbagai konsesi sumber daya alam (SDA) yang tak memberi nilai tambah buat negara.

Dan terakhir tumbuh kembangkan pasar domestik yang besar dari bangsa ini dengan meningkatkan daya beli dan keterampilan bangsa ini untuk menggarapnya. Jangan terlalu lagi berharap masuknya investasi asing. Terlebih investasi yang tak memakmurkan.

Mengambil contoh, investasi asing yang meningkat, tetapi sayangnya tak berpengaruh terhadap peningkatan tenaga kerja. Datanya begini, secara total selama Januari hingga September 2020, realisasi penyerapan tenaga kerja mencapai 861.581 orang. Seluruh serapan tenaga kerja itu berasal dari 102.276 proyek investasi. Namun sayangnya, catatan positif peningkatan angka serapan tenaga kerja itu masih jauh untuk bisa mengimbangi tingginya angka pengangguran di tanah air. Buktinya, data penurunan jumlah pengangguran bukannya makin agresif, justru makin ‘memble’.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penurunan jumlah pengangguran terus melambat sejak pengangguran mencapai puncak tertinggi di 2005. Selama 2005-2009 rata-rata penurunan mencapai 6,82 persen. Namun pada periode 2010-2014, penurunannya hanya 3,94 persen.

Lebih parah lagi, pada periode 2015-Februari 2020, penurunan jumlah pengangguran hanya 0,96 persen. Akibatnya, hingga Februari 2020, tercatat sedikitnya ada 6,88 juta rakyat Indonesia yang masih menganggur. Angka tersebut bakal terus meningkat mengingat jumlah angkatan kerja baru terus bertambah. Sementara itu, kita masih terjebak pada dilema pandemi covid -19, ekonomi belum bisa berlari kencang, karena saling terkait dengan dilonggarkannya aktivitas masyarakat. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *