JAKARTA, REPORTER.ID – Keputusan Pemerintah untuk menghapus Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium (RON-88) secara bertahap pada 1 Januari 2021, harus dibarengi dengan regulasi agar Pertamax dapat subsidi.
Saran ini disampaikan Anggota Komisi VII DPR RI, Sartono Hutomo kepada wartawan di Jakarta, Senin (16/11/2020).
“Sebagai wakil rakyat, saya tetap berpandangan bahwa daya beli masyarakat kita itu yang utama, sehinga perlu kita dorong sebuah regulasi agar nantinya Pertamax yang disubsidi Pemerintah. Sehingga Masyarakat kita tidak terlalu terbebani dengan regulasi baru ini nantinya,” kata Politikus Demokrat ini.
Melanjutkan pernyataannya, Kepala Departmen Bidang Ekonomi DPP Partai Demokrat ini mengatakan, penghapusan Premium juga perlu dibarengi dengan sosialisasi yang dilakukan secara bertahap.
“Saat ini masyarakat bisa membeli Premium dan Pertalite, jadi kali mau dihapuskan mulai dari Premium dulu lalu kemudian pertalite,” tegas Sartono.
Legislator asal dari dapil Jawa Timur ini, memahami rencana dihapuskanya BBM jenis premium berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) LHK NO.P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017. Dimana, kata Sartono, aturan tersebut terkait tentang baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, dan O.
“Yakni bahan bakar yang boleh digunakan adalah standar Euro 4,” pungkas Sartono.
Seperti diketahui, pemerintah kembali mewacanakan penghapusan bahan bakar minyak (BBM) premium (RON-88) secara bertahap, mulai 1 Januari 2021. Kalau wacana itu benar, penghapusan premium itu dinilai merupakan keputusan sangat tepat.
Alasannya, premium termasuk jenis BBM beroktan rendah, yang menghasilkan gas buang dari knalpot kendaraan bermotor dengan emisi tinggi. Jenis BBM dengan emisi tinggi termasuk tidak ramah lingkungan hingga membahayakan bagi kesehatan masyarakat.
Selain beremisi tinggi, pengadaan impor BBM premium berpotensi memicu moral hazard, yang menjadi sasaran empuk bagi mafia migas berburu rente. Sejak beberapa tahun lalu, BBM premium sudah tidak dijual lagi di pasar international sehingga tidak ada harga patokan.
Pengadaan impor BBM premium dilakukan dengan blending di Kilang Minyak Singapura dan Malaysia, yang harganya bisa lebih mahal. Tidak adanya harga patokan bagi BBM premium berpotensi meĀmicu praktik markup harga, yang menjadi lahan bagi mafia migas untuk berburu rente. ***