JAKARTA, REPORTER.ID – Pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) dapat menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis premium, namun harus juga mempertimbangkan daya beli masyarakat. Terlebih lagi, di tengah kondisi pandemi virus corona atau Covid-19 saat ini.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/11/2020) mengingatkan, penghapusan premium pada masa pandemi akan semakin memperberat beban masyarakat karena konsumen harus migrasi ke pertamax, yang harganya lebih mahal.
Hal yang memberatkannya lagi, lanjutnya, karena masyarakat pengguna BBM premium (RON 88) merupakan konsumen terbesar kedua setelah konsumen pertalite (RON 90).
“Untuk meringankan beban masyarakat, penghapusan BBM di bawah RON-91 harus disertai dengan penurunan harga pertamax RON-92,” tegasnya.
Bagi Pertamina, sambung Fahmy, sesungguhnya masih ada ruang untuk menurunkan harga BBM pertamax. Pasalnya, tren harga harga minyak dunia masih cenderung rendah, rata-rata di bawah 40 dollar AS per barel. Lalu, ICP (Indonesia Crude Price) ditetapkan sebesar 40 dollar AS per barel.
“Saatnya bagi pemerintah untuk menghapus BBM premium dan menurunkan harga BBM pertamax dalam waktu dekat ini,” ujar Fahmy.
Adapun harga premium saat ini di level 6.550 rupiah per liter untuk wilayah Jawa- Madura dan Bali (Jamali) dan di luar Jamali 6.450 rupiah. Sementara pertamax RON-92 yang diminta masih bertengger di harga 9.000 rupiah per liter. BBM jenis inilah yang diminta diturunkan.
Seperti diketahui, pemerintah kembali mewacanakan penghapusan bahan bakar minyak (BBM) premium (RON- 88) secara bertahap, mulai 1 Januari 2021. Kalau wacana itu benar, penghapusan premium itu dinilai merupakan keputusan sangat tepat.
Alasannya, premium termasuk jenis BBM beroktan rendah, yang menghasilkan gas buang dari knalpot kendaraan bermotor dengan emisi tinggi. Jenis BBM dengan emisi tinggi termasuk tidak ramah lingkungan hingga membahayakan bagi kesehatan masyarakat.
Selain beremisi tinggi, pengadaan impor BBM premium berpotensi memicu moral hazard, yang menjadi sasaran empuk bagi mafia migas berburu rente. Sejak beberapa tahun lalu, BBM premium sudah tidak dijual lagi di pasar international sehingga tidak ada harga patokan.
Pengadaan impor BBM premium dilakukan dengan blending di Kilang Minyak Singapura dan Malaysia, yang harganya bisa lebih mahal. Tidak adanya harga patokan bagi BBM premium berpotensi memicu praktik markup harga, yang menjadi lahan bagi mafia migas untuk berburu rente. ***