Oleh: Endy Kurniawan, Praktisi Tech Startup
APAKAH “political branding” dan “personal branding” bisa didekati dengan metode membangun “product atau corporate brand”? Mungkin saja, meski objek atau pasarnya jauh lebih labil. Dalam politik & demokrasi, ada fatamorgana tentang citra. Citra dibangun oleh opini. Dan opini dibentuk oleh media. Meski kendali opini dan produksi konten saat ini beralih ke publik, rekayasa melalui media utama masih jadi penentu arus. Jika demikian halnya –meski sangat jarang dilakukan– maka aktivitas mengubah arah brand atau mereposisi brand, atau melahirkan brand yang benar-benar baru, berlaku pula untuk political dan personal brand.
Pada setiap kelompok pasar, 77% publik pada dasarnya tidak ingin ‘dekat’ dan jadi loyalis terhadap sebuah brand. Tugas organisasi adalah menemukan & memikat 23% yang mungkin jadi loyal (Kim Lachance Shandrow, enterpreneur.com). Lalu jika berdasarkan audit ternyata publik telah sulit menerima, organisasi dianggap kudet dan jadul, atau brand-nya ‘kotor’ karena stigma dan persepsi tertentu, maka perlu upaya terencana untuk mengubah, memperbarui atau melahirkan brand baru.
Apakah semudah itu? Mengubah logo adalah perkara sederhana. Mengubah tampilan fisik lainnya, layout, warna-warni adalah mudah saja. Mengganti SDM frontliner atau direct seller dengan yang lebih muda, tampan dan cantik juga gampang. Tapi setelahnya? FedEx mengubah brand pada 1995, mensimplifikasi layanan lalu jadi salah satu brand terkuat saat ini. GAP pernah mencoba ganti logo pada tahun 2010, tapi buyar dan kembali ke logo lama. Ada kisah sukses dan gagal yang bisa jadi pelajaran.
Janganlah rebranding sekedar jadi pencitraan di awal kemudian jadi cemoohan. “Percuma ah ini parpol ganti wajah saja tapi tak berganti sikap dan cara interaksinya.” Atau “Ah ini sih ganti slogan doang” dan stop disitu. Atau, percuma ganti uniform tapi perilakunya masih sama. Atau makin kedalam: “percuma ah ganti wajah tapi orangnya gaya lama.” Dalam membangun persepsi kita perlu sentuh menyeluruh 3P, yaitu People, Process dan Physical Evidence. Uniform, logo dan tagline hanya tampilan paling luar. Hanya seputar ‘what to say.’
Jadi mungkin saja rebranding diperlukan, atau bahkan dalam beberapa kasus justru wajib dilakukan, tapi perlu audit yang jujur dan kemudian perlu perhitungan. Perlu persiapan dan perencanaan. Rebranding tak pernah mudah dan murah. Tapi jika resiko karam brand lama lebih besar, langkah ini layak diambil. Atau langkah ekstrim satu lagi: matikan brand lama, lahirkan yang benar-benar baru? Kesimpulannya: percuma ganti logo jika what to say dan how to say-nya tetap jadul dan kudet. ***