GENERAL (RET) LLOYD AUSTIN DIPILIH BIDEN MENJADI MENTERI PERTAHANAN

oleh
oleh
Jenderal Lloyd Austin

Oleh : Marsda TNI (Pur) Prayitno Wongsodidjojo Ramelan

Pengamat Intelijen

Presiden AS terpilih Joe Biden telah menunjuk  Jenderal Lloyd Austin, purnawirawan Jenderal bintang empat AD (Army ) sebagai menteri pertahanan. Jika nanti dikonfirmasi Senat, Austin akan menjadi orang kulit hitam pertama yang memimpin Pentagon.

Austin,  adalah sosok menarik, ada yang menyebutnya “A Man ‘Of The Highest Integrity,’ But Still Unknown To Many”. Dia merupakan jenderal kulit hitam pertama yang memimpin divisi Angkatan Darat Amerika dalam pertempuran dan orang pertama yang mengawasi seluruh teater operasi militer.

Austin, pernah memimpin Komando Pusat AS,  saat itulah Biden mengenalnya. Michèle Flournoy, juga salah satu  tokoh wanita kulit hitam telah dipilih menjadi Kepala Staf Presiden. Calon lain adalah Jeh Johnson mantan Menteri Keamanan Dalam Negeri (Homeland Security). Tetapi Johnson  dikritik karena catatannya yang memperluas penahanan keluarga dan mempercepat deportasi, serta menyetujui ratusan serangan drones terhadap tersangka teroris yang juga membunuh warga sipil.

Lloyd James Austin III, lahir 8 Agustus 1953 (67)  di Mobile, Alabama, alumnus Auburn University dan Akademi militer West Point. Sebelum pensiun tahun 2016, ia tentara kulit hitam pertama yang menjabat sebagai komandan  CENTCOM  (12th commander of United States Central Command), juga pernah menjadi komandan  82nd Airborne Division.

Austin mempunyai pengalaman tempur  melawan terorisme di Afghanistan dan Irak. Bila sudah dikonfirmasi Senat, Biden akan membuat sejarah memilih Austin yang akan memimpin organisasi militer dengan 2,2 tentara dan 700.000 pegawai sipil.

Dalam sebuah opini di The Atlantic, Biden berkata tentang Austin, “Dia adalah Jenderal  Afrika-Amerika pertama yang memimpin korps Angkatan Darat dalam pertempuran dan orang Afrika-Amerika pertama yang memimpin seluruh medan perang; jika dikonfirmasi, dia akan  menjadi orang Afrika-Amerika pertama yang memimpin Departemen Pertahanan – tonggak penting lainnya dalam karier yang memecahkan penghalang yang didedikasikan untuk menjaga keamanan rakyat Amerika.”

Catatan Konflik Trump Dengan Dua Menteri Pertahanan

Saat era kepemimpinannya, Presiden Donald Trump telah berkonflik (tidak cocok) dengan dua Menhan. Pertama dengan General (Ret) James Mattis, yang akhirnya mengundurkan diri, dan kedua dengan Menhan  Mark Esper yang dipecatnya.

Konflik Presiden Trump dengan Menhan Mark Esper. Menjelang akhir kepemimpinan usai kalah dari Joe Biden dalam pilpres AS 2020, Presiden Trump memecat Menteri Pertahanan Mark Esper, yang dikenal sebagai sosok yang berpengalaman di dunia militer. Mark T Esper, lahir pada tanggal 26 April 1964 (56)  di Uniontown, Pennsylvania adalah alumnus Akademi militer West Point tahun 1986 korps  Infanteri (Army).

Setelah menyelesaikan pelatihan Ranger dan Pathfinder, ia bertugas di Divisi Lintas Udara ke-101 dan terlibat dalam Perang Teluk 1990-91 dengan “Screaming Eagles”. Dia dipercaya memimpin Kompi Senapan di Tim Tempur Batalion Lintas Udara 3-325 di Vicenza, Italia.

Esper pensiun dari Angkatan Darat AS pada tahun 2007 setelah menghabiskan 10 tahun tugas aktif dan 11 tahun di Garda Nasional dan Cadangan Angkatan Darat. Esper kemudian aktif dan menjabat sebagai Kepala Staf di lembaga think tank The Heritage Foundation, dan kemudian menjadi direktur legislatif dan penasihat kebijakan senior untuk mantan Senator Chuck Hagel.

Selama pemerintahan Presiden George W Bush, ia menjadi Wakil Asisten Menteri Pertahanan untuk Kebijakan Negosiasi di Pentagon. Dari 2006-2007, Esper menjabat sebagai Chief Operating Officer dan Executive Vice President of Defense and International Affairs di Aerospace Industries Association. Dia  merupakan komisaris yang ditunjuk Senat di Komisi Tinjauan Ekonomi dan Keamanan AS-China.

Esper dipilih  Trump menjadi Menhan menggantikan James Mattis  yang mengundurkan diri, tapi yang unik, setelah pilpres, Mark Esper dipecat karena menolak perintah Trump untuk  mengerahkan Garda Nasional saat terjadinya demo dan kerusuhan di AS.

Konflik Presiden Trump dengan Menhan James Mattis. Menteri Pertahanan James Mattis di era Presiden Trump mengundurkan diri, efektif sejak 28 Februari 2019. Dalam surat pengunduran dirinya Mattis menyebutkan dua alasan profesional mengapa dia mundur. Pertama adalah dukungan kuatnya untuk mitra dan sekutu: “Satu keyakinan inti yang selalu saya pegang adalah bahwa kekuatan kita sebagai bangsa tidak dapat dipisahkan dari kekuatan sistem aliansi dan kemitraan kita yang unik dan komprehensif.” Presiden Trump dinilainya  sering meremehkan sekutu dan nilai aliansi

Alasan kedua terkait dengan Rusia dan China: “Demikian pula, saya percaya kita harus tegas dan tidak ambigu dalam pendekatan kita terhadap negara-negara yang kepentingan strategisnya semakin tegang dengan kita. Jelas bahwa China dan Rusia, misalnya, ingin membentuk dunia yang konsisten dengan model otoriter mereka. . . Itulah sebabnya kita harus menggunakan semua alat kekuatan Amerika untuk menyiapkan pertahanan bersama.”  Menurut para analis, kemungkinan besar, hal ini terkait dengan Rusia di mana Trump sering menyatakan kekagumannya terhadap Putin.

Peristiwa yang memicu ketidak cocokan Mattis, tampaknya saat  presiden mengumumkan untuk menarik pasukan AS dari Suriah dan Afghanistan. Hal ini mengejutkan Mattis  dan staf Pentagon, keputusan Trump untuk pengurangan jumlah pasukan di Afghanistan, bertentangan dengan saran yang diberikan oleh Pentagon.

Analisis

Dari fakta diatas, terlihat perbedaan karakter serta knowledge antara Biden dengan Trump. Biden adalah politisi dan diplomat ulung berlatar belakang hukum, dikenal  dekat dengan militer, intelijen, para penasihat keamanan dan mampu

membangun hubungan dengan Senat. Biden memilih Austin daripada Johnson karena menyeimbangkan keinginan para senator kulit hitam, disamping menilai Austin Jenderal profesional tempur dan tidak mempunyai catatan negatif.

Austin selain memiliki kekuatan bargaining position mendukung pemerintahan, juga berpengalaman di theater operasi  beberapa mandala perang. Biden butuh pemimpin militer yang tidak ragu dalam mengambil keputusan yang bersifat politis militer.

Di sinilah perbedaan Biden dengan Trump. Biden bisa menerima saran, mampu membaca situasi serta kondisi, kemudian memilih pembantunya para senior kelas pakar di bidangnya dan loyal. Sementara Trump yangberlatar belakang pebisnis, berbau otoriter, semua harus sesuai dengan keinginannya, dengan pertimbangan untung rugi. Saran staf sering diabaikan, inilah titik rawannya, sehingga kebesaran  AS sebagai negara super power menurun karena tidak solidnya  pejabat pemerintahanTrump.

Konflik dengan Menhan Mark Esper yang akhirnya dia pecat menunjukkan ketidak peduliannya dengan UU yang ada, dia ingin menggerakkan Garda Nasional untuk mengatasi kerusuhan warga kulit hitam. Esper adalah tokoh ex militer yang berpengalaman, bukan tokoh yang mau diperalatnya.

Sementara konflik dengan James Mattis pensiunan Jenderal Korps Marinir yg  mempunyai julukan “Mad Dog” memunculkan kekesalan Mattis dan Pentagon karena beberapa hal terjadi perbedaan prinsip.   Trump dinilai Mattis  sering meremehkan sekutu dan nilai aliansi yang komprehensif, saran-saran Pentagon dinilai diabaikan Trump.

Mattis penulis ketahui sangat luas cakrawala pandang, memegang prinsip selaku militer. Mattis sangat menghargai Indonesia, terlihat saat era kunjungan Menhan RI Jenderal Purn Ryamizard Ryacudu ke Pentagon. Kedatangan Ryamizard disambut dengan salvo meriam 21X tembakan meriam yang nilainya sama dengan kedatangan kepala negara.

Saat itu Ryamizard minta tolong counter intelligence  atas gangguan tokoh teroris  ISIS asal WNI (Bahrun Naim) yang berada Syria, diketahui mendanai aksi teror di Indonesia. Dalam waktu kurang dua minggu setelah pertemuan, tokoh teroris itu dihabisi drones  AS di Syria.

Itulah Mattis yang bersahabat dengan Ryamizard, serta langkah diplomasi pertahanan yang cantik dan smart oleh Mad Dog dalam membangun pertemanan atau mitra dengan Indonesia. Hal-hal  semacam ini yang kurang difahami Trump sehingga gesekan terjadi.

Kesimpulan

Penunjukan Lloyd Austin  menjadi  Menhan AS menunjukkan bagian dari strategi global Biden dalam mengantisipasi  perkembangan geopolitik dan geostrategi, baik internasional maupun  kawasan regional khususnya Indo Pasifik. Kawasan InPac   dinilai  rawan dan berpotensi dapat  mengganggu kepentingan nasional serta juga berpeluang menjadi ancaman keamanan nasionalnya. Nah, Austin yang akan melengkapi kekuatan tim inti yang sudah lebih dahulu ditunjuk yaitu Menlu Aitken dan Direktur Intelijen Nasional Avril Haines.

Biden sangat faham mengelola politik luar negeri, memiliki pengalaman  dua periode saat menjadi wakil presiden di era Obama. Kepemimpinan Biden akan diwarnai Menlu Aitken yang keturunan  Israel dan besar di Perancis, selain itu juga  Haines yang mempunyai akses lengkap ke seluruh kawasan dunia dengan dukungan 16 organisasi intelijen. Instrumen security AS dibawah Austin tidak akan ragu diterapkan apabila diplomasi “carrot” gagal. Implementasi “stick” pernah dan telah  dilakukan di Vietnam, Afghanistan dan Irak.

Sebagai saran, konsep hubungan bilateral Indonesia-AS mohon dikelola dengan data base intelijen strategis dengan pola baru, tinggalkan pemikiran lama yang usang dalam menata posisi Indonesia diantara dua negara besar AS dengan China yang dalam tahap konflik menuju kearah perang dingin. Cerdas saja tidak cukup untuk saat ini, pemimpin-pemimpin di Indonesia harus cerdik (berinisiatif positif) demi kepentingan nasional. Para pemegang amanah harus mampu berinovasi apabila ingin Indonesia tetap eksis dan maju. Semoga bermanfaat, Pray Old Soldier.

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *