JAKARTA, REPORTER.ID- “Nama saya Suharta, bukan Suharto, asli Sindang Laut, Cirebon. Saya sudah di Jakarta sejak Jokowi nyalonin jadi gubernur tahun 2012,” kata kakek penjual gamelan jenis saron itu ketika istirahat di pinggir taman di bawah kerindangan pohon jamblang atau juwet dan mengkudu di Blok 40, Perumnas Klender, Jakarta Timur.
Hari itu Jumat (18/12/2020) waktu duha, Suharta juga seperti lelaki muslim lainnya, bersiap-siap untuk solat Jumat.
Namun kakek 22 orang cucu dari 8 anaknya itu sebelumnya sudah menempuh perjalanan cukup jauh untuk lansia berumur 73 tahun itu.
Dari tempat mondoknya di Kelurahan RT 02/05 Kebon Pala, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, dia menjajakan dagangannya berjalan kaki sampai Cililitan. Karena belum juga ada yang beli, iapun naik Mikrolet 19 ke Perumnas Klender. Melewati Kali Malang dan belok kiri ke Pondok Kelapa, Suharta turun dari Mikrolet di dekat Banjir Kanal Timur (BKT). Mulailah ia menyusuri jalan dan gang kecil perumahan Perumnas Klender yang dibangun tahun 1978-1979 itu sambil menabuh gamelan mainannya.
Terdengar lagu “Balonku” berkali kali. Kemudian disusul lagu “Soleram”. Tak lama kemudian berkumandang lagu “Ibu Kita Kartini.”
Ketika lewat Gang 3 Nusa Indah VII, dua kakak beradik memanggilnya. Satunya bernama Andin
sudah bersekolah di Madrasah Tsanawiyah (SMP) klas 1 dan adiknya Soraya masih TK.
“Beli dong Buk, kasihan dia,” rengek Andin.
Ternyata harganya Rp 10.000,- untuk saron yang paling kecil dengan 7 lempengan logam dengan nada suara 1 oktaf dari do sampai si.
Si Ibu akhirnya beli dua saron mini tersebut. Kakek itu mengeluarkan dua lembaran kertas panjang seperti strok minimarket diberikan kepada pembeli.
Ternyata pada kertas kecil itu ada daftar lagu sekaligus not not angka yang sederhana.
Lagu lagunya ada 16 judul antara lain Gundul Pacul, Tak Ton Tong, Kucing Garong, Cucak Rowo dan Misteri Ilahi.
Tiga lagu yang dimainkan kakek itu juga ada not notnya pada lembaran kertas mirip strok belanja supermarket tersebut.
“Ini dibikinin oleh anak anak mahasiswa kenalan saya,” kata Suharta sambil tersenyum. Dia sendiri mengaku hanya sekolah SR kelas 3. Jadi tidak faham partitur apa lagi not balok.
“Alhamdulillah hari ini sudah laku lima,” kata Suharta semringah.
Dari Kebon Pala, Suharta sudah menjelajah kawasan Jabodetabek yang ditempuhnya dengan KRL, bis, mikrolet maupun dengan berjalan kaki.
Berjualan saron mainan mulai tahun 1985 sudah pernah mangkal di Cilegon, Merak lalu menyeberang sampai ujung utara Sumatera. “Tapi waktu Aceh bergolak tahun 1989 saya pulang kampung ke Cirebon,” tuturnya.
Tentu saja berjualan jenis dagangan semacam itu tidak sendirian melainkan didahului pergi berombongan kemudian menyebar.
“Pernah sampai 24 orang rombongan saya,” tambahnya.
Tahun 1990 mencoba ke Kalimantan dengan beli tiket kapal Pelni dari Surabaya. “Ternyata tiketnya palsu. Padahal kami sudah sampai pelabuhan (Tanjung Perak),” ungkapnya. Orang kecil macam Suharta tak banyak pilihan dan tak mau mengusut atau menuntut. Dia dan teman temannya pulang ke Cirebon cari jalan lain.
Ada kapal habis mengangkut kayu di Pelabuhan Cirebon mau pulang ke Kalimantan (Timur). Suharta dkk nekad membawa dagangan gamelan mainan itu ke sana naik kapal kayu tersebut.
“Ternyata enam hari enam malam baru sampai sana. Di pelayaran sempat muntah muntah akibat kapal diterjang ombak. Enam teman saya sakit sesampai di Kalimantan,” kenang kakek itu sambil membetulkan maskernya.
Kini Suharta tidak pernah jauh jauh. Daerah jelajahnya cukup lingkup Jabodetabek. “Paling jauh ke Parung Bogor,” ungkapnya.
Saron mainan dagangan Suharta juga buatan Cirebon, yang besarnya bervariasi. Yang paling kecil hanya 7 nada atau satu oktaf dijual Rp 10.000,- yang satu setengah oktaf dijual Rp 20.000 -Rp 25.000,- . Sedang yang paling besar berkapasitas nada 2 oktaf diberi harga Rp 50.000,-
Pecinta budaya tradisional Jawa, Bali dan Betawi Bambang Haribowo yang tinggal di Bukit Duri, Jakarta Selatan, Sabtu (19/12/2020) merasa tertarik dengan penjual gamelan mainan semacam itu. Sebab sambil berjualan pedagang gamelan itu juga memperagakan bagaimana memainkannya dengan menghasilkan berbagai macam lagu.
“Sudah lama saya nggak melihat dia. Eh sekarang muncul lagi,” ujarnya.
Apa nama gamelan yang dijajakan Suharta dan teman temannya itu?
Sumardi Dalang, Ketua II Pepadi DKI Jakarta mengatakan itu namanya saron. Kalau bahannya dari kayu namanya gambang.
Anggota karawitan Sanggar Saeko Budoyo, Kelurahan Penggilingan, Cakung, Eko Sunaryo membenarkan hal itu.
Saron ada yang laras pelog dengan 7 nada. Ada pula yang laras slendro hanya 5 nada atau pentatonis.
Macam macam gamelan ada gambang yang sumber suaranya berbahan kayu, kenong, kempul, gender, gong, yang sumber suaranya dari logam, rebab dan siter masing masing digesek dan dipetik.
“Itu perlu diperkenalkan kepada generasi muda. Siapa yang mau belajar. Silakan kemari saya ajari Gratis,” kata Eko Sunaryo yang memiliki koleksi beberapa alat musik tradisional Jawa itu di rumahnya. (PRI)