Kenangan Sepatu Pantofel Bangkok dan Wat Arun Bermozaik

oleh
oleh
Wat Arun .(Foto: Trip.com)

JAKARTA, REPORTER.ID- Bulan Januari baru saja lewat, kini kita mulai menapaki bulan Februari. Namun diperkirakan 30 sampai 40 hari ke depan akan terasa sama suasananya di negeri kita, Zamrud Katulistiwa ini. Yaitu seperti bulan Januari, hujan sehari hari dengan curah air yang cukup tinggi.
Tetapi pagi itu langit Bangkok, Ibu Kota Negeri Gajah Putih terlihat membiru dengan saputan awan putih dan kelabu yang tipis.
Kami belasan wartawan Jakarta yang menginap di sebuah hotel agak jauh dari Istana Raja Thailand, sehabis makan sarapan telah siap mulai berwisata. Tampak di antaranya Kamsul Hasan dari Pos Kota, Heru dari Harian Terbit, Iyas Sutisna dari Indonesia Times, Irmanto dari Kantor Berita Antara, Jaya Kamarullah dari Bisnis Indonesia, saya dari Berita Buana dan Adi Wargono dari Harian Ekonomi Neraca.
Tour guide kami Suksan warga asli Bangkok telah menyiapkan minibus yang segera berangkat menuju destinasi wisata setelah penumpangnya diabsen sebentar.
Di jalan yang kami lewati banyak kendaraan roda tiga yang dinamakan tuk-tuk karena bunyi knalpotnya seperti itu.
Sementara di Jakarta saat itu sedang hangatnya polemik angkutan bermotor roda 3 pengganti becak antara Anglingdarma (Angkutan Lingkungan Dari Masyarakat) dan Toyoko pada tahun 1992, tahun terakhir pemerintahan Gubernur Wiyogo Atmodarminto.
Tak terasa kami sampai di dekat sungai besar dan terlihatlah jembatan. Setelah menuruni oprit seberang jembatan tadi, minibus belok ke kiri. “Nah kita turun di sini untuk ganti taksi air,” kata Suksan yang fasih berbahasa Indonesia seperti Jirayut artis millenial Indonesia asal Thailand saat ini.
Di dermaga sudah siap perahu motor berkapasitas 20 seat yang disebut taksi air oleh Suksan tadi.
Perahu segera meluncur ke arah hulu Sungai Chao Praya.
Sungai ini lebih besar dari Ciliwung di Jakarta, namun lebih kecil dibanding Sungai Musi di Palembang.
Debit air Sungai Chao Praya penuh hingga hampir hampir tebing sungai tak kelihatan. Rumah rumah maupun kantor kantor dan perusahaan semua menghadap ke sungai. Ada di antaranya yang membuat cekungan dengan dermaga kecil untuk menambatkan perahu motor masing masing.
Bahkan kami sempat melewati kantor militer semacam Koramil yang juga menghadap Sungai Chao Praya. Dua kapal kecil berwarna loreng siaga di dermaganya.
Semakin ke hulu semakin sering kami melihat kelompok kecil biksu dan atau biksuni muda berbusana warna oranye berjalan beriringan di pinggir sungai.
Terkadang kami jumpai beberapa perahu atau rakit mungil sebesar sandal jepit hanyut ke hilir. Berceritalah tour leader Suksan tentang adat budaya Thailand yang dikaitkan dengan kearifan lokal masalah kelestarian sungai dan air tanah. Berdendanglah Suksan dengan lagu Lay lay katong sambil menunjuk perahu perahu mungil dimainkan ombak dan hanyut mengikuti aliran air sungai.
Tak berapa lama terlihat kuil Wat Arun. Taksi air yang kami tumpangipun merapat ke dermaga. Sampailah kami ke destinasi wisata favorit di kawasan ini.
Kami berfoto bersama sebentar di halaman rumput depan bangunan khas Thailand. Berjalan berkeliling dan akhirnya ke bangsal yang dilengkapi ruang informasi.
Setelah itu kami naik ke bangunan menara berbentuk stupa tertinggi yang berhiaskan mozaik dari keramik. Bangunan ini tambahan karya Raja Rama III yang memerintah tahun 1824 – 1851.
Di tingkat atas dengan beberapa bentuk stupa tanpa rongga tampak wisatawan saling memotret. Di spot paling bagus ada wanita Thai berbusana mirip penari Janger Bali siap menemani kita berfoto ria. Seorang lelaki temannya segera menagih tip beberapa Bhat kepada tourist yang berfoto dengan putri Wat Arun tersebut.
Tangga untuk naik ke puncak tertinggi hampir 70 meter itu cukup terjal. Kalau diukur dengan busur derajat minimal membuat sudut 60° dengan garis horisontal.
Railing atau pegangannya bukan dari kayu atau stainless steel melainkan dari tali tambang kasar dengan penampang berdiameter sekitar 6 cm.
Semula kami malas naik. Namun melihat beberapa wisatawan bule lanjut usia sudah bertengger di atas, maka kami yang waktu itu baru umur kepala 3 dan 4 tak mau kalah.
Dari ketinggian itu terlihat atap bangunan bangunan di sekitarnya mirip rumah gonjong budaya Minangkabau.
Menurut sejarahnya Wat Arun ini ditemukan Raja Thailand bernama Taksin pada waktu fajar tahun 1768. Makanya oleh Sang Raja dinamai Wat Arun yang artinya Kuil Fajar.
Menjelang tengah hari mendung sudah bergelayut. Kami segera turun. Sesampai di bawah, hujanpun mengguyur deras. Banyak wisatawan berlarian ke bangsal.
Kami basah kuyub meskipun ada yang membawa payung. Menuju dermaga sungai tempat taksi air yang sudah menunggu memang harus melewati genangan air setinggi betis. Kecipak air disibak kaki kaki bersepatu menambah kesan mendalam hari itu.
Begitu mengering sepatu bertali terasa sesak mencengkeram di kaki. Terpaksa beli sepatu baru model pantofel untuk ganti agar praktis.
Inilah kenangan berwisata dalam musim hujan.
Seorang teman juga beli sepatu kanvas yang branded. Sekaligus membelikan sepatu serupa untuk anak laki lakinya.
Namun sesampai di rumah baru diketahui bahwa buah tangan dari Bangkok itu juga buatan dalam negeri.Terbaca pada kardus pembungkusnya Made in Indonesia. Kamipun tertawa ketika bertemu kembali di Jakarta dan saling bertukar cerita.
Hingga kini sepatu pantofelku masih relatif bagus karena jarang dipakai. Sementara sepatu kulit bertali yang kubeli sangat pilihan untuk pergi ke luar negeri, hanya sampai di situ saja ceritanya.(*)

Jakarta, 1 Februari 2020.

Suprihardjo
Wartawan Harian Berita Buana 1979 -2004

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *