Politik Jalan Pendek

oleh
oleh

Oleh : Prof. Amir Santoso

Ada kosakata baru dalam perpolitikan Indonesia setelah dulu ada Politik Jalan Tengah, kini ada istilah Politik Jalan Pendek. Sayangnya hingga saat ini belum ada istilah Politik Jalan Pinggir atau Politik Jalan Mlipir hehe.

Politik Jalan Pendek (PJP) mengacu pada dua hal. Pertama, pada kelakuan para konglo yang ingin “menguasai” politik Indonesia, kedua, pada kelakuan politisi termasuk pejabat pemerintahan yang ngebet mau jadi presiden atau jabatan tinggi lainnya tapi dengan jalan pintas.

Daripada bersusah payah bikin parpol yang ngabisin duit dan belum tentu laku, mendingan beli parpol yang sudah jadi. Atau kalau tidak ada stok parpol lagi untuk dibayari, maka dikudeta saja pimpinannya.

Seperti konon kata Ketua MPR, para konglo yang mau kuasai politik Indonesia cukup sediakan duit sekian trilyun rupiah maka mereka akan kuasai politik kita. Caranya adalah dengan menyogok parpol atau mendanai capres tertentu. Tapi ini kata Ketua MPR sih, bisa benar bisa salah.

Saya pikir apa yang dilakukan oleh Konglo seperti itu tidak salah secara hukum karena memang tidak ada pasal yang dilanggar. Jadi kalau mau dilarang, perlu ada ketentuan hukum yang melarang penggunaan duit dalam jumlah lebih dari sekian juta bagi setiap orang atau perusahaan yang boleh disumbangkan kepada parpol atau capres.

Di AS ada larangan bagi perorangan untuk menyumbang parpol atau capres melebihi batas yang ditentukan, kalau tidak salah A$ 100 ribu. Kayaknya dulu pernah ada pengusaha kita yang dihukum kerja sosial di AS karena menyumbang Capres tertentu melebihi jumlah tsb.

Lain dari itu rupanya ada pejabat dan politisi yang ngebet banget ingin menjadi presiden. Semua orang sih, termasuk saya, mau jadi presiden asal ada yg milih hehe. Soalnya kalau jadi presiden gak perlu susah-susah mikirin kebutuhan hidup. Pokoknya asal mendehem aja dikit, pasti dayang-dayang pada berebut melayani.

Orang-orang yang nafsu itu rupanya ingin pakai jalan pintas yang paling murah untuk bisa menjadi capres. Alih-alih bikin parpol sendiri, mereka pikir lebih efisien membajak partai orang tak iyah (kata orang Madura).

Kalau bikin parpol sendiri kan musti keluar duit banyak dan ber kampanye mencari dukungan. Ini bikin capek. Tapi kalau mengkudeta parpol lain kan lebih enteng.

Makanya kata medsos, terjadinya upaya kudeta terhadap kepemimpinan suatu parpol baru-baru Ini adalah upaya menggunakan parpol tsb sebagai kendaraan politik orang ybs menjadi capres.

Tentu saja heboh. Sebab upaya seperti itu dianggap tidak konstitusional. Memang aneh dan lucu orang-orang itu. Kalau ngebet nyapres kan lebih elegan kalau dia atau mereka masuk parpol tsb atau parpol apa saja,  terutama parpol yang sedang berkuasa, lalu berjuang dari dalam agar pimpinan parpol itu mendukungnya sebagai Capres dari parpol tsb. Tapi memang cara itu perlu usaha keras dan rupanya orang-orang itu tidak mau dan malas berusaha.

Saya jadi ingat tulisan Muhtar Lubis dan Koentjaraningrat jaman dulu yang menyatakan bahwa salah satu sifat orang Indonesia adalah suka menerabas alias cari jalan pintas. Rupanya di jaman millennial ini masih banyak orang kita yang suka menerabas dengan sedikit usaha. Kudeta parpol dan pembelian parpol itulah contohnya.

Cara-cara seperti itu selain inkonstitusional juga secara moral tidak elok jika diulangi lagi. Di jaman serba transparan ini, cara seperti itu mudah terbuka dan hanya bikin malu pelakunya. Malahan pelakunya kalau dia pejabat bisa-bisa kehilangan jabatan.

Lagipula cara itu hanya menambah daftar perusak demokrasi. Demokrasi kita itu selain dirusak oleh politik uang dan oleh para konglo yang membeli  parpol, juga bisa dirusak oleh kudeta parpol tsb. Demokrasi memang butuh kesabaran. (Prof. Amir Santoso, dosen Ilmu Politik, Rektor Universitas Jayabaya Jakarta). 

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *