Masih Ada Korupsi dan Dinasti Politik, Pengamat: Demokrasi Indonesia Perlu Direkonstruksi

oleh

JAKARTA,REPORTER.ID – Kesalahan demokrasi pasca reformasi adalah tidak menjadikan geopolitik menjadi dasar untuk membangun strategi politik nasional. Sehingga kebijakan, produk hukum dan UU yang dibuat tidak nyambung dengan rakyat. Karena itu, demokrasi kita harus ditata ulang, rekonstruksi.

“Ironi demokrasi pasca reformasi semua bisa terjadi seperti KLB Demokrat di Sibolangit, 7 menit juga beres. Hanya saja Demokrat seharusnya tak berkeluh-kesah tapi introspeksi ke dalam, apakah sistem yang berjalan ini sudah benar atau tidak?” demikian Hendrajit.

Hal itu disampaikan pengamat Geopolitik dan Direktur Global Future Institute (GFI) itu dalam dialektika Demokrasi
“Konsolidasi Demokrasi dan Hukum yang Berkeadilan” bersama
H. Anwar Hafid (anggota DPR RI Fraksi Demokrat), dan Mardani Ali Sera (anggota DPR RI Fraksi PKS) di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Kamis (25/3).

Sama halnya dengan wacana presiden tiga periode, menurut Hendrajit
bahwa tiga periode itu hanya wadah, tapi yang perlu diperhatikan adalah amandemen konstitusi meski khusus hanya menambah tiga periode. Rakyat mestinya responsif. “Tapi, kalau amandemen kembali dengan semangat Orde Proklamasi, bahwa yang menjadi pilar-pilar demokrasi itu dulu adalah utusan golongan dan utusan daerah. Orang-orang hebat yang mampu mermuskan berdirinya NKRI,” ujarnya.

Karena itu, dia minta para elit negara ini harus punya wawasan global, tapi tetap mengutamakan kepentingan nasional. “Jangan sampai wacana tiga periode itu dikendalikan oleh para pemodal asing, yang tidak berpihak kepada rakyat dan negara sendiri,” ungkapnya.

Anwar Hafid justru mempertanyakan saat ini yang berjalan demokrasi atau kekuasaan politik? Revisi UU Pemilu ditolak, padahal pemilu serentak 2019 jelas mengakibatkan 800 an penyelenggara pemilu meninggal akibat kelelahan. Ditambah lagi akan ada 172 an kepala daerah akan dijabat oleh pelaksana tugas (Plt). “Itulah yang mengkhawatirkan,” katanya.

Mardani mengakui jika Indonesia yang luas, beragam suku bangsa, agama, bahasa dan budayanya maka berbeda puka berdemokrasinya. “Kita.memang sedang mencari bentuk demokrasi. Ibarat bayi lahir tidak normal atau by accident. Buktinya pasca reformasi ini justru dinasti politik, korupsi dan sebagainya masih subur. Sehingga demokrasi yang ada hanya prosedural, belum substansial,” tambahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *