Oleh : Muchyar Yara
Sebagaimana dimuat di sejumlah media, pengurus Partai Demokrat (PD) versi KLB Sibolangit, menyatakan akan mengajukan beberapa gugatan diantaranya gugatan ke PTUN sehubungan dengan penetapan kemenkumham yang menolak pengesahan kepengurusan PD versi KLB, yang kedua gugatanke Pengadilan Negeri (PN) terhadap AD/ART PD yang dinilai tidak demokratis dan melnggar UU Kepartaian.
Tulisan ini akan mencoba menganalisa gugatan-gugatan tersebut sebagai berikut. Pertama, Gugatan ke PTUN sehubungan dengan penetapan Menkumham yang menolak mengesahkan kepengurusan PD versi KLB Sibolangit.
Berbeda pada sistem pemerintahan parlementer, maka pada sistem pemerintahan presidensil, menteri bukanlah subyek hukum, menteri tidak bisa dimintakan pertanggung jawabannya baik secara politik maupun secara hukum sepanjang menyangkut kebijakannya ataupun keputusannya (Tupoksinya). Karena menteri hanyalah pembantu presiden, yang bertanggung jawab adalah Presiden selaku kepala pemerintahan. Hal ini juga dipertegas dalam pidato Presiden Jokowi ketika melantik para menterinya beberapa waktu yang lalu, “bahwa menteri tidak mempunyai visi dan misi sendiri, yang ada adalah visi dan misi presiden.”
Dengan demikian ketetapan Menkumham Yasonna Laoly yang menolak mengesahkan pengurus PD versi KLB (dengan Ketumnya Moeldoko) adalah merupakan penetapan Presiden yang didelegasikan kepada Menkumham sesuai dengan tupoksinya. Sehingga, gugatan terhadap ketetapan Menkumham oleh PD versi KLB secara hukum adalah juga berarti gugatan kepada Presiden Jokowi.
Tergugat adalam peradilan administrasi negara adalah: “Pemerintah RI qq.Menteri… qq. Dirjen…. dstnya, pemerintah di sini berarti presiden karena presiden menurut konstitusi adalah Kepala Pemerintahan yang mewakili pemerintah.
Gugatan PD versi KLB itu tentunya akan ditandatangani oleh Moeldoko (selaku Ketua Umum) atau orang lain yang diberikan kuasa olehnya. Karena yang berhak mewakili Partai keluar atau kedalam adalah Ketua Umum.
Jadi di sini Moeldoko yang juga menjabat sebagai KSP (yang notabene juga adalah Pembantu Presiden) menggugat atasannya sendiri yakni presiden.
Keadaan ini akan bertambah kacau seandainya gugatan Moeldoko Cs dikabulkan/dimenangkan oleh PTUN, yang berarti penetapan penolakan mengesahkan kepengurusan PD versi KLB dinilai salah menurut hukum oleh pengadilan. Halmana berarti Presiden qq Menkumham telah melakukan kesalahan menurut hukum atau berarti juga pemerintah (dalam hal Presiden) telah melakukan pelanggaran hukum.
Jika hal ini terjadi di negara hukum yang maju akan mengundang konsekwens presiden bisa didesak untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Sedangkan jika pengadilan menolak gugatan termaksud, hal mana saja sudah membuat kondisi ketatanegaraan kita menjadi terganggu karena seorang bawahan/pembantu Presiden (KSP) telah menggugat atasannya yaitu Presiden.dan ini mungkin baru pertama kalia terjadi dalam sejarah ketatanegaraan RI.
Jadi jangan menganggap gugatan ke PTUN sebagai hal yang sepele atau hanya sekedar taktik untuk mencari jalan aman bagi pemerintah untuk melegalkan pengurus PD versi KLB, karena konsekwensinya secara ketatanegaraan sangat serious, serta berpotensi menurunkan kewibawaan Presiden/Pemerintah di mata rakyat.
Berbeda situasinya jika sebelum mengajukan gugatan ke PTUN, Moeldoko mengundurkan diri dari jabatannya sebagai KSP. Semoga presiden tidak mensikapi kemungkinan gugatan hukum di atas dengan “happy-happy saja”, karena hal itu melahirkan konsekwensi yang serious didalam praktek ketatanegaraan menurut UUD 1945.
Kedua, gugatan ke Pengadilan Negeri tentang AD/ART yang dinilai tidak demokratis serta bertentangan dengan UU Kepartaian.
Berkenaan dengan gugatan ini maka terlebih dahulu perlu dipertanyakan legal standing para penggugat, karena jika kepengurus hasil KLB tidak atau belum disahkan oleh pemerintah (dalam hal in Menkumham cq Presiden), maka pengurus PD versi KLB tidak mempunyai legal standing untuk menggugat AD/ART PD, terlebih lagi mereka pada umumnya sudah dipecat dari keanggotaan PD sebelumnya.
Selain itu AD/ART PD telah disahkan berdasarkan Keputusan Menkumham No. M.HH-09.AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan Perubahan AD/ART Partai Demokrat tertanggal 18 Mei 2020, artinya AD/ART PD sudah diakui sah oleh pemerintah (dalam hal ini adalah Presiden sebagai Kepala Pemerintah).
Dengan demikian gugatan sehubungan dengan AD/ART PD seyogyanyajuga diajukan ke PTUN bukan ke PN (kalau ke Pengadilan Negeri salah alamat dan melanggar kompensi Absolut PN).
Dari uraian ditas kiranya sangat jelas bahwa gugatan yang diajukan oleh pengurus PD Versi KLB, kedua-duanya harus diajukan ke PTUN, hal ini berarti Tergugatnya adalah Pemerintah R.I (dalam hal ini berdasarkan konstitusi adalah Presiden R.I selaku Kepala Pemerintah), sementara Penggugatnya adalah Pengurus PD versi KLB yangdengan ketua Umumnya Moeldoko yang juga menjabat selaku KSP (pembantu Presiden). Sehingga jika gugagatan ini kan diteruskan maka rakyat akan melihat seorang pembantu Presiden menggugat Presidennya (atasannya sendiri).
Oleh karenanya untuk mencegah terjadinya kekacauan didalam tata kelola pemerintahan, sebaiknya sebelum mengajukan gugatan Moeldoko mengundurkan diri dari jabatannya selaku KSP.
Sebagai penutup diharapkan semoga Moeldoko Cs dapat menerima penolakan oleh Menkumham termaksud karena dalam hal ini Menkumham( selaku Pembantu Presiden) bertindak atas nama Pemerintah (atau bertindak atas nama Presiden RI selaku Kepala Pemerintahan). Jadi jika Moeldoko menggugat ketetapan/putusan Menkumham apakah dalam hal penolakan mengesahkan pengurus PD Versi KLB ataupun dalam hal keputusan Menkumham yang telah mengesahkan AD/ART PD hasil Kongrs 2020, dengan cara menggugat ke pengadilan (apakah itu PTUN ataupun PN) maka secara hukum (dan bukankah Negara RI adalah Negara Hukum?) berarti juga Moeldoko (yang menjabat selaku KSP) telah melawan atasannya sendiri (yaitu Presiden).
Jika kemudian Moeldoko beralasan bahwa ketika mengajukan gugatan dia bertindak selaku pribadi (bukan selaku KSP), maka bisa ditanyakan, bahwa selama bertindak selaku pribadi itu, jabatan KSP nya dititipkan atau ditaruh dimana? Dan konsekwensinya jika kemudian dia memasuki Kantor KSP, maka dia harus dilantik lagi (terlebih dahulu) oleh Presiden. (Muchyar Yara, mantan dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Indonesia).