Oleh : Amir Santoso
Ketika instruksi Presiden agar pegawai KPK yang tidak lulus test wawasan kebangsaan, diabaikan oleh instansi penyelenggara test, sedangkan Presiden hingga saat ini diam saja atas pembangkangan tersebut, maka timbul dua perkiraan.
Pertama, Presiden tidak memiliki daya untuk memaksa bawahannya mematuhi perintahnya. Kedua, pemecatan tersebut boleh jadi memang direstui. Proses pelemahan KPK itu sebagian kecil saja berkaitan dengan sistem politik. Pelemahan itu lebih disebabkan oleh masalah mentalitas buruk atau bobrok dari sebagian elite politik dan pemerintahan kita serta dari sebagian kalangan pengusaha besar.
Mentalitas buruk itu terdiri dari dua jenis, yaitu mentalitas maling dan sikap suka menerabas seperti yang pernah ditulis oleh Muhtar Lubis dan Koentjaraningrat beberapa tahun yang lalu.
Mengamati maraknya kasus korupsi di kalangan pejabat, bisa jadi bahwa sejak saat seseorang bercita-cita menjadi pejabat, mungkin motivasi utama mereka ingin menggarong duit negara.
Boleh jadi sebagian besar pejabat itu tidak punya keinginan untuk mengabdikan dirinya bagi kepentingan rakyat dan untuk melayani rakyat. Memang ada sebagian kecil pejabat yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Tapi sebagian besar tidak demikian.
Sebagian dari mereka merasa kurang lengkap bahkan dinilai bodoh jika tidak bersedia menerima sogok. Lain dari itu pejabat seperti itu merasa tidak puas jika tidak menaikkan harga beli barang-barang keperluan kantor.
Mungkin mereka tidak punya pikiran samasekali terhadap pertanggungjawaban di hari akhirat kelak. Mereka lupa dan merasa tidak melakukan dosa apapun.
Mentalitas maling dan suka menerobos tersebut melahirkan konspirasi antara pejabat dengan pengusaha tertentu yang ingin bisnisnya lancar. Caranya adalah dengan memberi sogok atau suap kepada pejabat yang berwenang.
Itulah yang disebut sebagai mentalitas menerabas. Maksudnya hampir semua pengusaha dan kita-kita ini ingin mendapat hasil dengan cepat dan tidak sabar mematuhi aturan. Jika aturan bisa dimainkan agar tujuan bisa segera dicapai kenapa aturan itu tidak diterobos saja? Salah satu cara untuk menerabas aturan adalah dengan menyogok atau menyuap pejabat yang berwenang. Jadi, ketika pengusaha hitam itu bertemu dengan pejabat bobrok, maka ketemulah ruas dengan buku.
Sebenarnya dulu sudah muncul harapan ketika Presiden Jokowi mencanangkan Revolusi Mental. Tadinya terpikir bahwa RM itu bermaksud mengubah secara revolusioner cara berpikir dan cara bersikap kita: dari malas menjadi rajin, dari pembohong menjadi jujur, dari amatiran menjadi profesional dan lain-lain sikap-sikap yang baik.
Tapi ternyata bukan lahir mentalitas yang ideal tadi, malahan mentalitas buruk makin menjadi-jadi. Hal itu terjadi karena tidak ada kesungguhan untuk menerapkan RM tersebut sehingga terjadi pengabaian terhadap proses pengawasan dan pelonggaran sanksi hukum bagi para pejabat bobrok dan pengusaha hitam. Akibatnya terjadi ketidakadilan dan pelecehan terhadap proses hukum. Semua orang lalu merasa bebas merdeka berbuat semau mereka.
KPK seharusnya bisa menjadi benteng penerapan hukum yang tegas dan adil. Namun sayangnya sebagian punggawanya tampaknya tidak memiliki mentalitas yang dibutuhkan sebagai penegak hukum dan keadilan di bidang korupsi. Agaknya godaan duniawi bagi mereka terlampau kuat untuk dilawan sehingga benteng mereka jebol.
Apa hikmah dari proses pelemahan KPK tersebut? Yang terutama adalah pelajaran bahwa sistem politik apapun tidak akan berhasil membawa rakyat sejahtera dan merasakan keadilan apabila para pemimpin negara tidak memiliki mentalitas jujur, profesional dalam melaksanakan tugasnya dan selalu merasa bertanggungjawab kepada rakyatnya dan kepada Tuhannya. Kita berharap semoga saja mereka masih menganggap Tuhan itu ada. Sebab jika harapan inipun sirna, maka tunggulah kematian KPK. (Penulis adalah Gurubesar FISIP UI, Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta)