DPR Dukung Buku Pedoman Kemenko Polhukam agar Tak Ada Penyalahgunaan Pasal Penghinaan Presiden

oleh

JAKARTA,REPORTER.ID – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mendukung ‘Pedoman Pelaksanaan UU ITE” yang akan ditandatangani Kemenko Polhukam RI, Kejaksaan Agung RI, Kapolri dan Kemenkominfo RI pada Rabu (16/6/2021) besok. Sebab, dengan pedoman tersebut diharapkan tidak ada penerapan dan penafsiran hukum pidana yang berbeda antara para penegak hukum tersebut.

“DPR berharap tidak terjadi multi tafsir, dan perbedaan penerapan hukum pidana di masyarakat dengan terbitnya pedoman atau buku saku pelaksanaan UU ITE tersebut khususnya terkait pasal-pasal yang dinilai sebagai pasal karet sebelum direvisi,” tegas Abdul Kharis.

Hal itu disampaikan Abdul Kharis Almasyhari dalam forum legislasi “Revisi UU ITE Terbatas, Apa Itu Pasal Karet?” bersama Wakil Ketua Tim Kajian UU ITE/Staf Ahli Kemenkominfo RI Prof Dr Henri Subiakto SH MH, dan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti DR. Fickar Hadjar MH di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (15/6/2021).

Lebih lanjut kata politisi PKS itu, pihaknya dalam membahas UU No.11 tahun 2016 tentang ITE tersebut tidak menyangka kalau kemudian pasal 27 dan 28 itu menimbulkan polemik atau menjadi pasal karet di masyarakat, akibat perbedaan tafsir dan penerapannya oleh para penegak hukum sendiri. Karenanya DPR mendukung terbitnya pedoman oleh Kemenko Polhukam tersebut.

Pada prinsipnya kata Abdul Kharis, Komisi I DPR siap membahas revisi UU ITE tersebut kalau sudah dikirim ke DPR RI. “UU ITE itu inisiatif pemerintah, maka Komisi I DPR menunggu draft RUU ITE dari pemerintah,” ujarnya.

Menurut Prof Henri, Kemenko Polhukam RI bersama Kapolri, Kemenkominfo RI, dan Kejagung RI pada Rabu (16/6) akan menandatangani ‘Pedoman Pelaksanaan UU ITE’ sebelum revisi UU ITE selesai. Pedoman itu untuk menghindari perbedaan tafsir berikut penerapannya terkait pasal-pasal penghinaan, pencemaran nama baik, tuduhan, kritik, pornografi, pemerasan, dan sebagainya yang selama ini dinilai sebagai pasal karet.

Setidaknya sesuai instruksi Presiden Jokowi, Kemenko Polhukam menginstruksikan kepada Kemenkominfo RI untuk melakukan tiga hal; yaitu merevisi, memgkaji secara akademik dan ini membutuhkan proses panjang, dan membuat tim kajian. “Pada prinsipnya Presiden minta Polri dan Kejagung tidak boleh dengan mudah mempidana orang sehingga harus mendahulukan mediasi terlebih dahulu,” jelas Henri.

Pasal penghinaan juga sudah diatur dalam pasal
310 dan 311 KUHP. Pasal itu terkait dengan tuduhan, hoaks, fitnah dan kebohongan lain yang ditujukan kepada seseorang, tapi implementasinya dianggap diskriminatif antara eksekutif dengan rakyat biasa. “Jadi, perlu digarisbawahi bahwa tuduhan, fitnah, hoaks, kebohongan, itu berbeda dengan kritik terhadap kebijakan atau program yang akan dilakukan oleh pemerintah. Kalau kritik, pasti tak bisa dikenai pasal UU ITE maupun KIHP dimaksud. Kritik apa saja boleh apalagi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara,” kata Henri.

Lalu kenapa sanksi UU ITE lebih berat dibanding KUHP, menurut Henri karena berita di media sosial itu penyebarannya jauh lebih masif, berlangsung lama dan bisa diulang-ulang. Sebaliknya KUHP obyek hukum yang dihadapi adalah bukan medsos, tapi koran, yang sebarannya terbatas. Sehingga wajar kalau sanksi pidana UU ITE itu lebih berat.

Dengan demikian buku pedoman itu lanjut Henri, nantinya sekaligus akan menjadi masukan untuk merevisi UU ITE. Karena itu, pedoman ini akan me jadi buku saku atau pegangan bagi para penegak hukum sebelum UU ITE selesai direvisi.

Abdul Fickar berharap kritik dan kebebasan berpendapat tetap dipelihara, karena justru dari perdebatan dan kritik tersebut akan lahir ide-ide dan gagasan besar yang bermanfaat untuk kepentingan bangsa dan negara. “Justru tradisi debat itu akan melahirkan pemikiran-pemikiran alternatif yang seharusnya dipelihara,” ungkapnya.

Yang terpenting lagi kata Fickar, UU itu tak boleh diskriminatif dan tak boleh ada pasal karet. Misalnya dalam penerapan UU ITE itu adanya perlakuan dan sanksi pidana yang berbeda terhadap pejabat eksekutif dengan rakyat biasa, akibat adanya tekanan kekuasaan. “Perbedaan penerapan sanksi itu sudah diskriminatif. Padahal, Kepolisian dan Kejaksaan harus independen dalam menjalankan tugasnya sebagai pegak hukum,” pungkasnya.

Sebelummya Pemerintah akan merevisi 4 Pasal karet UU ITE, dari pencemaran nama baik hingga penyebaran hoaks.
“Revisi terhadap UU ITE akan dilakukan revisi terbatas yang menyangkut substansi. Ada empat pasal yang akan direvisi yaitu pasal 27, 28, 29, dan pasal 36. Ditambah satu pasal 45C,” kata Menko Polhukam Mahfud MD di kantornya, Selasa (8/6/2021) lalu.

Mahfud MD mengatakan pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan masukan sebelum draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hal itu disampaikan Mahfud saat mengelar audiensi bersama koalisi masyarakat sipil di Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (14/6/2021).

“Sekarang ini tim kajian telah selesai melakukan tugasnya, namun masukan-masukan dari masyarakat masih terbuka dan bisa disampaikan ke DPR,” ujar Mahfud dalam keterangan tertulis, Selasa (15/6/2021).

Menurut Mahfud, Tim Kajian UU ITE sejak awal sudah bersikap terbuka untuk menerima masukan dari seluruh elemen masyarakat. “Baik dari akademisi, praktisi hukum, LSM, korban UU ITE, pelapor, politisi, jurnalis perorangan maupun asosiasi, termasuk beberapa yang hadir sore ini, juga ikut serta dalam memberikan masukan kepada tim kajian,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *