Oleh: Zainal Bintang
“Memang sulit untuk menghindari kecurigaan terhadap pihak lain di hari-hari seperti ini”. Perkataan itu diucapkan pemeran tokoh “penebang kayu” dalam film Jepang berjudul “Rashomon” yang bisa ditonton di Youtube saat ini. Sutradaranya sineas kelas dunia, Akira Kurosawa. Produksi tahun 1950 ini, masih menarik. Gambar seluruhnya memang hitam putih. Belum layar lebar. Justru lebih artistik. Alamiah. Sarat daya pukau filmis. Intensitasnya meresap. Jauh dari artifisial gincu kosmestika industri budaya gampangan abad ke-20.
Pesan yang menarik dalam cerita itu, jelas. Tentang bagaimana seseorang memiliki kapasitas untuk menyatakan ketidakbenaran dengan meyakinkan. Kebohongan yang terbungkus. Manusia memiliki kodrat bisa melakukan itu: kebohongan yang meyakinkan. Ada kebutuhan untuk bersembunyi dibalik narasi kebohongan demi kehormatan diri. Bohong dirancang demikian sempurna untuk menunda hancurnya harga diri. Pusat cerita film itu ditata di dalam sebuah persidangan kasus hukum, tentang pembunuhan dan kesaksian beberapa orang yang mengaku melihat kejadian tesebut. Majelis hakim ingin membongkar siapa sebenarnya pelaku pembunuhan itu?
Film dimulai dengan dialog seorang penebang kayu (Takashi Shimura), pendeta (Minoru Chiaki), dan seorang asing yang berlindung dari hujan (Kichijiro Ueda). Di tengah hujan badai yang meluluhlantakkan desa, di depan kuil tua bernama “Rashomon”, berlokasi di sebuah pedesaan yang sunyi, penebang kayu dan pendeta bercerita tentang sebuah kasus pembunuhan di hutan tiga hari sebelumnya. Penebang kayu menemukan sesosok mayat di hutan, kemudian melaporkannya pada pihak keamanan. Keesokan harinya diadakan sidang untuk mengetahui siapa pelaku pembunuhan tersebut. Dalam persidangan, saksi demi saksi didatangkan. Sang pendeta, Si penebang kayu, orang asing itu. Ada juga Si bandit Tajomaru (Toshiro Mifune) selalku tersangka utama, istri almarhum (Michiko Kayo) dan arwah sang suami turut dihadirkan dengan menggunakan medium kesurupan. Ternyata, tiga saksi utama memberi keterangan yang berbeda – beda tentang kronologis terbunuhnya sang suami yang malang itu.
Karakter sang bandit, istri, dan suami menjadi sarana penyindiran kelakuan para pembohong. Di sisi lain, pendeta yang meyakini, namun dibalut rasa takut; penebang kayu yang mendadak kebingungan; dan lelaki asing berteduh yang mendadak putus asa, mengekspresikan reaksi terhadap rangkaian kebohongan. “Rashomon” yang dibuat tahun 1950 masih mampu menunjukkan taringnya menyindir perilaku manusia di era kemajuan IT yang yang sedang trend di era ini. Film ini mendapat penghargaan Golden Lion pada Venice Film Festival 1951 dan Academy Honorary Award di ajang Oscar tahun 1952. Melalui tangan sutradara Akiro Kurosawa, terungkap adanya keraguan dalam diri manusia yang mendorong pertanyaan dalam batin: apakah kejujuran dalam hidup ini memang penting? Bahkan hingga hari ini melalui “Rashomon” sindiran satiris Kurosawa mengajak penonton untuk melihat sebuah kejadian yang sama dari banyak sudut pandang berbeda.
Pesan subtansial dari film “Rashomon” yang baru saja saya tonton (lagi dan lagi) minggu ini di Youtube, membawa ingatan kepada isu “bola panas” amandemen UUD 1945 yang menggelinding kembali setelah Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan: amandemen UUD 1945 dipastikan akan dibahas. Diucapkan dalam pidato Sidang Tahunan MPR RI 16 Agustus 2021. Dihadiri 60 orang pejabat. Mewakili seluruh 711 orang anggota MPR-RI (DPR RI 575 orang dan DPD RI 136 orang). Termasuk presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Sisanya mengikuti secara virtual. Bamsoet menegaskan, diperlukan “perubahan secara terbatas” terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya “penambahan wewenang MPR” untuk “menetapkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) ”.
Anehnya, setelah sidang maha penting itu, ternyata di ruang publik berkelindan tanggapan pro kontra. Bahkan dari kalangan anggota MPR sendiri terjadi narasi bantah membantah. Sulit menghindarkan kesan kurang matangnya konsolidasi internal diantara aktor politik itu. Benang merah “kebohongan yang terbungkus” dalam film “Rashomon” itu menyentak pikiran untuk menyoal kebenaran sejati yang melandasi frasa yang terucap atas nama lembaga, tentang “diperlukan perubahan secara terbatas” terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memenuhi (katanya), “kebutuhan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN)”. Semua orang tahu, pada awalnya proposal amandemen itu digagas legislator di MPR dan kini sedang hangat – hangatnya sebagai trending topic hari – hari ini. Sama diketahui bahwa, di dalam sistem presidensial sekarang yang lahir melalui pemilihan (umum) langsung, dimana, setelah presiden dipilih langsung, maka haluan negara tidak diperlukan lagi. MPR tidak mempunyai legitimasi sebagai lembaga tertinggi penjelmaaan kedaulatan rakyat. Posisi hukum dan politik MPR sekarang ini sudah sama dengan presiden. Sama-sama hanya sebagai lembaga tinggi negara, sebagai konsekuensi amandemen UUD 1945 empat kali oleh api semangat euforia reformasi.
Di ketahui luas, di era Soeharto, pemilihan presiden dan wakilnya menggunakan sistem perwakilan melalui MPR sebagai lembaga penjelmaan kedaulatan rakyat. Status MPR waktu itu sebagai lembaga tertinggi di atas lembaga presiden. Oleh karena itu keberadaan GBHN (Garis – garis Besar Haluan Negara) yang dibuat oleh MPR adalah keniscayaan yang secara otomatis menjadi instrumen politik untuk mengontrol presiden. Dan, karenanya presidenpun kudu bertanggung jawab kepada MPR. Dan karenanya pula, maka MPR pun mempunyai kewenangan memberhentikan presiden di tengah jalan. Kesemuanya itu adalah perintah konstitusi alias kehendak rakyat.
Pakar hukum tata negara dan salah satu pendiri PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), Bivitri Susanti, S.H., LL.M mengatakan, ”dominasi elite politik dalam perubahan konstitusi di Indonesia sedang kita lihat sekarang. Meski amandemen konstitusi adalah rekomendasi MPR 2009 – 2014, melalui Keputusan Nomor 4/MPR/2014, yang diwarisi MPR 2019 – 2024, rencana amandemen UUD 1945 klop dengan narasi perpanjangan masa jabatan presiden dan keinginan Dewan Perwakilan Daerah untuk menguatkan wewenang” (Mjlh.Tempo,23 -29 Agustus 2021).
Kuantitas resonansi reaktif dari publik yang sarat aroma resistensi, dapat dibaca rekam jejak digitalnya di cyber space. Cukup banyak. Mayoritas melukiskan kekhawatiran terhadap konsistensi sikap parlemen sebagai lembaga penyuara aspirasi rakyat. Sejumlah fakta menunjukkan rekam jejak kinerja legislator berseberangan dengan aspirasi rakyat. Itulah mengapa, ada kritik yang menyebutkan beberapa produk legilaslatif, yang bukan aspirasi rakyat. Kandasnya bukan cuma di Senayan. Juga tersedak di Merdeka Barat kantor Mahkamah Konstitusi. Setelah terlebih dahulu “diolah” eksekutif di Istana.
Terus terang, proposal amandemen UUD 1945 memiliki peluang besar dapat terlaksanakan. Segalanya menjadi sangat mudah di rumah wakil rakyat hari ini. Apalagi telah diagendakan dalam sidang MPR. Dan pasal 37 memberi ruang, amandemen bisa dilakukan apabila peserta sidang mencapai korum jumlah anggota legislatif yang hadir minimal dua pertiga. Pintu masuknya, adalah apabila proposal amandemen itu ditukangi sepertiga anggota legislator. Kunci penentunya, “apabila disepakati seperdua ditambah satu anggota legislator yang hadir dalam persidangan”.
Pandemi Covid 19, dapat dikatakan, ternyata membawa rakmat ganda dibalik duka nestapa yang nyaris melumpuhkan bangsa. Pertama, karenanya, kehadiran fisik semua legislator dalam persidangan pleno tidak diperkenankan. Ada keharusan mematuhi prokes (protokol kesehatan) yang melarang berkerumun alias “work from home” (wfh). Yang kedua, gemuknya koalisi parpol pendukung pemerintah, adalah rakhmat yang lain. Integrasi kedua rakhmat pandemi itu menjadi tiket masuk melewati jalan tol konstitusi. Namun ada sisi paradoksalnya: menyembulkan getaran kecemasan dan kecurigaan publik, disebabkan karena terbukanya “keleluasaan” pergerakan legislator. Berbagai manuver baru dalam persidangan dimungkinkan oleh adanya “kekuatan” suara terbanyak. Termasuk memutar haluan sidang kemana – mana. Pada saat yang sama, sidang itu secara konstitusional potensial diklaim sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia.
Lantas, kemana arah “debat kusir” legislator ini akan berlabuh? Jawabannya dapat ditemukan di dalam berbagai analisis pakar yang banyak di media digital yang menyimpulkan, “tidak seindah warna aslinya”; berjarak dekat dengan frasa “kebohongan yang dibungkus”.
Seperti biasa, sebuah pesan WhatsApp teman lama melesat ke dalam layar HP saya. Memuat kata bijak Bung Hatta, tokoh proklamator yang cukup tajam : “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki!!”. (Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya)