Oleh : Prof. Amir Santoso
Bahwa politik itu kata para ahlinya, tidak selalu berjalan lurus, sudah diketahui banyak orang. Tapi kalau politik itu, mbulet gak karuan sampai sulit dicerna akal, pastilah sangat membingungkan. Jika Anda mengikuti berita tentang pemecatan banyak pegawai KPK maka saya kira anda sama bingungnya dengan saya.
Kemarin ada 57 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sehingga harus diberhentikan sebagai pegawai KPK dan statusnya otomatis tidak bisa diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sampai tahap itu kita masih paham. Sebab orang yang gagal tes untuk ASN memang tidak bisa diangkat sebagai ASN. Tapi konon kemudian ada permintaan dari Presiden Jokowi agar Pimpinan KPK tidak memecat Novel Baswedan dkk.
Namun saya pikir, berita tentang permintaan Presiden itu menjadi tanda tanya. Sebab nyatanya Novel dkk tetap diberhentikan, dan istana tetap diam saja. Soalnya, jika benar ada permintaan Presiden tersebut, mana mungkin Pimpinan KPK berani mengabaikannya ?
Atau boleh jadi seperti kata teman saya, mungkin ada raksasa atau raja gendruwo yang lebih ditakuti oleh Pimpinan KPK daripada Presiden.
Kemudian ada hal lain yang lebih aneh lagi. Ada berita Kapolri mengusulkan kepada Presiden agar Polri merekrut Novel dkk menjadi ASN di lingkungan Polri.
Lho katanya, Novel dkk tidak lulus TWK. Itu artinya kan mereka diragukan nasionalismenya. Malahan ada yang menyebut mereka sebagai Taliban. Kok malah direkrut sebagai ASN oleh Polri?
Jadinya timbul tanda tanya, apa benar mereka gagal test tersebut, atau hanya pura-pura dinyatakan gagal agar tidak bisa diangkat sebagai ASN di KPK, padahal sebenarnya mereka lulus? Sebab, kalau tidak lulus mana mungkin Kapolri mau menerima mereka sebagai ASN di Polri, meskipun diperintah oleh Presiden?
Atau mungkin juga ada jurus ular kobra mematuk ayam. Novel dkk dikeluarkan dari KPK agar KPK tidak lagi bertaji, tapi mereka diterima sebagai ASN di Polri agar timbul persepsi publik bahwa mereka telah diperlakukan secara manusiawi.
Masalahnya, apakah publik bisa menerima alasan kemanusiaan itu? Sebab dari awal sebagian besar publik menghendaki penguatan KPK, bukan penguatan Polri, juga bukan agar Novel dkk dikasihani. Wallahua’lam. (Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya di Jakarta)