Oleh : Prof. Amir Santoso
Kata para orang bijak, kuping atau telinga pejabat pemerintah itu harus lebih panjang dan lebih lebar daripada mulutnya.
Maksudnya adalah, pejabat pemerintah itu harus lebih banyak dan lebih sering mendengarkan suara atau aspirasi rakyatnya daripada hanya berteriak memerintahkan sesuatu.
Apalagi kalau kerjanya hanya maki-maki sambil tunjuk sana sini sembari mengancam-ancam. Jeleknya, ngancamnya pakai ballpoint, potlot, atau apalagi. Kalau pakai pistol lumayan bisa langsung ditangkap.
Kata orang bijak pula, makin sering seorang pejabat berteriak dan memaki, makin dangkal isi kepalanya. Atau depressi. Sebaliknya yang duduk tenang seraya mendengarkan keluhan rakyatnya dan bawahannya, makin bijaksanalah dia.
Tapi tentu tidak cukup hanya duduk mendengarkan, melainkan harus segera membuat kebijakan yang sesuai dengan apa yang disampaikan oleh rakyatnya atau bawahannya.
Sebab, jika hanya duduk tenang sambil mendengarkan tanpa membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang pro rakyat, nanti dikira orang tolol atau orang budek.
Panjang telinga jauh lebih baik daripada panjang mulut atau lidah. Meskipun panjang telinga bisa-bisa disebut mirip kambing, tapi itu jauh lebih bagus daripada disebut panjang mulut alias suka bohong dan tukang obral janji kosong.
Mendengarkan itu butuh kesabaran. Duduk mendengarkan di depan orang yang terus nyerocos, sering memaksa pejabat untuk segera merespons. Memang tidak banyak pejabat yang mampu mendengarkan sampai semua pendapat disampaikan.
Hanya orang yang sudah banyak pengalaman dalam berinteraksi dengan publik, luas pergaulan dan banyak membaca buku yang biasanya memiliki kesabaran untuk mendengarkan.
Sebaiknya para pejabat instan yang dulunya jarang berdiskusi dan jarang membaca, akan sulit untuk mendengarkan pendapat orang lain, apalagi jika pendapat tersebut mengkritiknya.
Namun tentu saja ada pemimpin yang aktif dalam organisasi, luas bacaannya dan fasih berpidato tapi tidak suka mendengarkan. Pejabat macam ini biasanya muncul dari masyarakat yang suka membebek dan tidak suka mengeritik.
Akibatnya, pejabat itu akan selalu merasa benar dan hanya mau perintahnya diikuti. Artinya jika kita selalu mendiamkan pendapat pejabat dan membiarkannya dengan kebijakan-kebijakannya yang salah, maka pelan-pelan kita akan menjadikannya seorang megalomania.
Maka menjadi penting agar rakyat seperti kita ini menjadi dapur dari lahirnya pejabat yang bijak. Sebab pada dasarnya seorang pejabat itu adalah produk masyarakat dan lingkungan di mana dia hidup.
Pejabat yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang menghargai prilaku korup akan melahirkan banyak koruptor. Jika kita selalu diam ketika diperlakukan tidak adil, akan lahir pejabat yang dikatorial. Ketika kita adalah masyarakat yang menyukai kemunafikan dan kebohongan akan memiliki pejabat yang suka bohong dan munafik.
Sebaliknya jika kita mampu membangun suatu masyarakat yang adil, bijak, jujur dan prilaku lainnya yang penuh semangat toleransi dan kebersamaan, insya Allah kita akan dipimpin oleh pejabat yang adil, jujur dan bijaksana pula. Sebab apa yang diperbuat oleh masyarakat dan yang dibenarkannya akan ditiru oleh para pejabatnya. Maka bangunlah dan kritiklah pejabat yang salah dan jangan biarkan kesalahan-kesalahan merajalela. (Gurubesar FISIP UI, Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).