Politisi wanita muda Golkar yang duduk di Komisi XI DPR, Puteri Anetta Komarudin menegaskan, penerapan pajak karbon harus disertai peta jalan yang komprehensif. Hal itu sebagai bentuk komitmen dalam penanganan perubahan iklim guna menciptakan ekosistem industri nasional yang berkelanjutan, mengingat pajak karbon adalah salah satu ketentuan yang termuat dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).
“Instrumen pajak karbon ini kami perjuangkan sebagai bukti komitmen Indonesia menuju ekonomi hijau dan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebanyak 29 persen pada 2030 sesuai Perjanjian Paris. Penerimaan pajak ini nantinya juga dapat mendukung pendanaan untuk upaya pengendalian perubahan iklim,’’ kata Puteri Komaruddin, kemarin.
Namun, agar tepat sasaran dan tujuannya tercapai, pemerintah harus menyiapkan peta jalan yang jelas dan terarah sebagai pedoman implementasi. Karena jika tidak terarah, dikhawatirkan malah bisa menghambat pencapaian target dan adaptasi industri atas kebijakan tersebut.
Seperti diketahui, naskah RUU HPP menyebutkan pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pengenaan pajak tersebut dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau peta jalan pasar karbon.
Karena itu, peta jalan harus memuat tahapan penerapan pajak karbon itu sendiri. Mulai dari sektor-sektor yang akan dikenakan pajak karbon, mekanisme perluasannya, infrastruktur pendukung, hingga regulasi turunannya.
“Kita juga harus memperhatikan kesiapan dari pelaku usaha untuk sepenuhnya menerapkan pajak ini. Apalagi instrumen ini terbilang masih relatif baru. Dalam lingkup ASEAN sendiri, baru Singapura yang sudah menerapkan. Itu pun masih terbatas pada sektor industri dan pembangkit,” ujar Puteri Komaruddin.
Anak sulung Ade Komaruddin yang dijuluki Koboi Senayan itu menambahkan, penerapan pajak karbon ini rencananya mulai diberlakukan pada 1 Januari 2022. Di tahap awal, pajak karbon akan dikenakan pada badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batu bara dengan tarif Rp30.000 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Puteri memandang, penentuan sektor yang akan dikenai pajak ini juga harus dilakukan secara hati-hati. Terutama memperhatikan dampaknya terhadap biaya produksi yang tentunya akan berpengaruh pada harga dan daya beli masyarakat. ‘’Ini mengingat kita juga tengah berjuang memulihkan konsumsi masyarakat. Oleh karenanya, aspek kesiapan ekonomi tidak bisa diabaikan,” kata wakil rakyat dari Dapil Jawa Barat VII ini.
Puteri juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan harmonisasi antara upaya pemulihan ekonomi dan pencegahan maupun penanganan dampak krisis iklim. “Keduanya dapat dan harus berjalan beriringan karena keduanya merupakan sektor kehidupan yang saling berkaitan dan menjadi tumpuan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah perlu selaraskan peta jalan ini agar tujuan ekonomi hijau dapat tercapai sesuai target dan masyarakat, serta industri dapat beradaptasi dan berkontribusi maksimal,” imbuhnya. (**)