JAKARTA, REPORTER.ID – Sahabat Peradaban Bangsa (SPB) yang terdiri dari 19 Ormas perempuan dan Lembaga bantuan hukum mendesak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mencabut Permen 30 tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, itu karena dinilai masih mempertahankan seks bebas (Sexual Consent) di lingkungan perguruan tinggi/kampus.
“Permen itu jelas bertentangan dengan konstitusi yang menjunjung tinggi nila-nilai agama. Bahkan, kurikulum pendidikan sendiri disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan memperhatikan peningkatan iman dan takwa, serta peningkatan akhlak mulia. Tapi, mengapa Permen 30/2021 ini mengabaikan itu? tegas Ketua Sababat Peradaban Bangsa (SPB) DR. Hj. Aan Rohanah, Lc., M.Si di Jakarta, Jumat (5/11/2021).
Menurut Aan Rohanah, SPB mendapati dalam Permen 30/2021 itu mengabaikan semua hal berkait dengan keimanan dan ketakwaan, dan mempertahankan Prinsip Sexual Consent (seks bebas). Sehingga SPB menilai amanat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini tidak dijalankan.
“Padahal seharusnya Bapak Menteri mengatur larangan Sexual Consent (seks bebas) di Perguruan Tinggi, tanpa memperhatikan usia, dan bukan malah membuka peluang pembiaran Sexual Consent (seks bebas),” ujarnya.
SPB berpandangan bahwa Korban Kekerasan Seksual harus dilindungi dan perkaranya ditangani, tetapi SPB tidak sepakat dengan defenisi Kekerasan Seksual dalam Pasal 1 ayat (1) “Permen Pencegahan dan Penanganan KS” yang mengutip defenisi Kekerasan Seksual dalam draft pertama RUU-PKS yang berbunyi sama:
“Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”
Penggunaan relasi kuasa dan relasi gender dalam defenisi di Pasal tersebut kata Aan Rohanah, tidak berdasarkan Pancasila, dan diambil dari konstruksi pemikiran Barat seperti Marxisme yang bertentangan dengan fitrah penciptaan manusia. Tuhan secara tegas hanya menciptakan dua jenis kelamin (sex), lelaki dan perempuan.
Sementara penggunaan istilah gender kata Aan Rohanah, adalah kebebasan memilih orientasi seksual dari jenis kelamin yang sebenarnya, dan ini tidak dapat diterima oleh sebagian besar penganut agama Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia.
“Konsep gender bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dengan moralitas ketimuran di Indonesia,” jelas Aan Rohanan lagi.
Aan Rohanah menilai dalam Pasal 2 “Permen Pencegahan dan Penanganan KS”, terkait Tujuannya disebutkan: “Untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi.”
Padahal, pasal itu bertujuan Pendidikan Tinggi, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, justru mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia.
Selain itu, UU Pendidikan itu mengamantkan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia.
“Jadi, keberpihakan pada nilai kemanusiaan yang belum tentu ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, dijadikan tujuan. Padahal UU telah menetapkan meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia, lebih diutamakan,” ungkapnya kecewa.
Jika mahasiswa tidak memiliki keimanan dan ketakwaan, maka sia-sialah semua ilmunya, karena tidak akan ada yang menjadikannya manusia yang berakhlak mulia. “Artinya Permen Pencegahan dan Penanganan KS itu bertentangan dengan Undang-Undang yang terkait diatasnya,” tambah Aan Rohanah.
Dengan demikian, dengan semua alasan-alasan tersebut diatas, SPB yang terdiri dari 19 Ormas Perempuan dan Organisasi Bantuan Hukum secara tegas mendesak Bapak Menteri Nadiem Makarim untuk mencabut Permen No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi.
“Mengapa? Karena bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi,” pungkasnya.