Oleh : Prof. Amir Santoso
Sekarang sudah makin jelas adanya beberapa orang yang ingin menjadi Presiden dan yang ingin menjadi wakil presiden. Ini bisa dilihat dari baliho yang didirikan di berbagai tempat. Atau dalam pernyataan beberapa tokoh. Bahkan ada yang fotonya dipampang di layar ATM.
Walaupun maksud mereka masih disamarkan, misalnya dengan kedok bantuan sosial dan sebagainya, tetapi kita tahu maksud sesungguhnya mereka itu. Sebab buat apa mereka atau partainya atau lembaga yang dipimpinnya mengeluarkan uang untuk banyak baliho kalau hanya untuk memamerkan bantuan sosial ?
Kita sebenarnya senang saja melihat kampanye mereka. Namanya juga kontestasi atau festival. Lumayan sebagai hiburan setiap lima tahun.
Tapi sayangnya kegembiraan rakyat tampaknya tidak akan tuntas. Sebab pilihan rakyat terhadap calon yang boleh tampil akan sangat dibatasi melalui Ambang Batas alias Presidential Treshold. Akibatnya hanya orang yang didukung oleh parpol besar yang bisa mencalonkan diri. Sedangkan calon-calon yang lebih potensial tapi tidak menjadi anggota parpol besar hanya bisa menghayal termasuk rakyat yang mengidolakannya.
Tapi begitulah yang terjadi jika partai besar tidak ingin memberikan pilihan yang luas dan leluasa kepada rakyat untuk memilih Presiden, sementara rakyat juga diam saja. Maka jadilah kita gigit jari. Memang mengherankan sekali, nasib negara dipegang oleh parpol tapi rakyat diam saja. Ini rakyatnya memang apatis atau apa?
Setiap orang boleh mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wapres. Tapi mestinya ya ngaca dulu pakai cermin seluruh badan. Tilik-tilik dengan cermat apakah dirinya sudah pantas menjadi Presiden dan Wapres bagi 250 juta rakyat? Atau rakyat sudah dianggapnya semuanya bodoh belaka sehingga bisa dibohongi terus?
Presiden Indonesia itu kan ibarat raja bagi 250 juta orang. Raja jaman dulu kan wilayahnya hanya seluas kabupaten sehingga mudah diurus. Tapi raja Indonesia sekarang harus mengurusi rakyat dan wilayah dari Sabang hingga Merauke. Mengkurusi rakyat itu mudah tapi mengurusi itu sulit banget.
Karena itu dibutuhkan keahlian dan kecakapan manajerial termasuk kewibawaan yang absah sebagai pemimpin. Legitimasi alias keabsahan itu hanya bisa diperoleh seseorang melalui rekam jejak kepemimpinannya yang dianggap bagus oleh sebagian besar rakyat. Termasuk dalam hal ini adalah kejujurannya, kesalehan sosialnya dan prilakunya yang menyenangkan banyak orang.
Jika kita sebagai pemimpin sebuah lembaga atau juga partai terlihat hanya bisa plonga plongo dan sering tidak tanggap terhadap masalah publik, jangan harap akan disukai oleh rakyat. Sebab capek rasanya jika melihat pemimpin yang seperti itu.
Rakyat juga butuh pemimpin yang mampu membuat harga sembako, sandang, papan dan kebutuhan pokok lainnya terjangkau. Kita risau melihat utang negara kita makin meningkat. Jadi siapa bilang menjadi Presiden itu mudah dan enak?
Memang kita tahu menjadi Presiden itu tidak enak jika kita merasa punya tanggung jawab terhadap negara dan rakyat. Tapi menjadi enak kalau kita menjadi Presiden dan wapres yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri.
Sebab bisa saja ada Presiden dan wapres yang berpendirian biarlah rakyat mengurusi diri mereka sendiri sampai menjadi kurus beneran. Mau harga kebutuhan pokok naik terus kek, mau hukum dilanggar terus kek, mau rakyatnya gontok-gontokan terus kek, bodoh amat.
Karena itu berpikirlah dulu baik-baik sebelum bikin baliho dan poster. Jangan hanya karena sudah menjadi Ketua partai atau pimpinan lembaga negara terus merasa layak menjadi Presiden atau wakil Presiden. Atau hanya karena tidak kebagian jabatan lalu ingin memperpanjang masa jabatan Presiden untuk ketiga kalinya. Usul seperti ini kan melanggar UU juga melanggar kepatutan.
Lebih baik selenggarakan polling pribadi dulu agar mengetahui sampai seberapa banyak dukungan rakyat kepadanya. Polling itu harus dilakukan oleh lembaga yang netral, bukan lembaga yang mau bikin dukungan kepada kita asal bayar.
Juga ketentuan presidential threshold sebaiknya ditiadakan saja. Biarkanlah rakyat bebas memilih siapapun yang ingin mereka calonkan. Soal bagaimana caranya, silakan para ahli mencari sistem penyaringan capres yang ideal sehingga capres non partai pun bisa tampil.
Sebab rasanya banyak rakyat yang sudah tidak percaya kepada parpol karena tokoh parpol banyak yang mengecewakan rakyat ketika tokoh itu menjadi pejabat. Mudah-mudahan impian ini terwujut untuk tahun 2024 nanti. (Amir Santoso, Profesor Ilmu Politik FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta.)