Wayang Kulit Betawi Kesenian Tertua di Cakung, Jakarta Timur

oleh
oleh

JAKARTA, REPORTER.ID — Surya Atmadja putra Almarhum Mardjuki, dalang wayang kulit Betawi abad 20, menyambut gembira upaya Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Timur untuk menetapkan Cakung sebagai Kampung Budaya di Jakarta Timur. Alasannya, Cakung memiliki seni budaya yang berkembang sampai sekarang.

“Seperti kesenian wayang kulit Betawi, ini merupakan kesenian tertua di Kampung Cakung yang dibawa oleh Aki Roda yang nama aslinya Raden Rangga Yudha pada abad 17,” tutur Surya Atmadja di Cakung, Jakarta Timur, Senin (7/3/2022).

Menurut Surya Atmadja yang lebih dikenal dengan panggilan Suhu Djadja ini, Raden Rangga Yudha adalah mantan prajurit Mataram yang datang ke Batavia atas titah Sultan Agung Mataram untuk menyerang pasukan VOC Belanda di Batavia zaman Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen. Namun pasukan Mataram dipukul mundur sekitar tahun 1629.

Setelah beberapa tahun dalam pelariannya, Raden Rangga Yudha alias Aki Roda memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram.

“Beliau menikah dengan wanita asli Betawi yang bernama Patimah yang biasa dipanggil Patma atau Imah, putri seorang kusir delman yang bernama Patah,” lanjutnya

Raden Rangga kemudian mengumpulkan sisa sisa pasukan Mataram dari tim kesenian seperti mantan pemain ledek dan ronggeng yang tidak kembali ke Mataram. Aki Roda atau Raden Rangga sendiri membuat wayang kulit dari kulit kerbau.

“Lalu berdirilah grup kesenian wayang kulit dengan Raden Rangga Yudha bertindak sebagai dalangnya dengan panggilan Ki Roda,” tutur Suhu Djadja.

Sejak itu Kampung Cakung memilki grup kesenian wayang kulit Aki Roda. Dari perkawinannya dengan Patimah, Ki Roda mempunyai beberapa orang anak. Salah satunya anak laki laki bernama Perin. Dialah yang mewarisi kepandaian mendalang sekaligus memimpin grup kesenian wayang kulit Betawi yang dirintis Aki Roda.

Dalang Ki Perin berjaya pada abad 18 dan diteruskan cucunya bernama Mursyid di abad 19.  Dari dalang Ki Mursyid ini muncullah kemenakannya, Mardjuki pada abad 20 yang dididiknya menjadi dalang kondang wayang kulit Betawi.

Versi Dinas Kebudayaan DKI Jakarta menyatakan Dalang Mardjuki lahir tahun 1926 dan mulai terkenal mendalang di Jakarta tahun 1951. Mardjuki meninggal dunia tahun 1992.

Namun Suhu Djadja sebagai anaknya menyebut lebih tua dari itu. “Bapak terakhir mendalang tahun 1991. Beliau wafat tahun 1992 di usia 92 tahun,” ungkapnya.

Surya Atmadja alias Suhu Djadja tidak lulus menjadi dalang karena ia memilih aktif di persilatan Cha Kung. Adiknya mengikuti jejak ayahnya mendalang yang dikenal dengan nama Dalang Subur sebagai penerus Dalang Mardjuki.

Walau begitu di padepokannya, Toemaritis di Bekasi Utara, Suhu Djadja memiliki seperangkat gamelan dan wayang kulit Betawi tanda cintanya pada seni budaya leluhurnya.

Ia masih ingat bagaimana Dalang Mardjuki membuat sendiri wayang kulit Betawi dan mencatnya. “Ada yang dijual ke Museum Wayang di Kota Tua untuk koleksi,” tuturnya.

Kepala Satuan Pelayanan Museum Wayang Jakarta, Sumardi S.Sos mengakui, dari 3 kali pengadaan wayang kulit Betawi, pembelian pertama tahun 1975 , jumlahnya 27 wayang. Selanjutnya pengadaan kedua dan ketiga tahun 2011 dan 2012 sehingga koleksi museum itu menjadi 163 wayang kulit Betawi dari berbagai tokoh wayang. (PRI).