JAKARTA, REPORTET.ID – Wakil Ketua MPR RI yang juga Wakil Ketua Umum DPP PKB Jazilul Fawaid menegaskan jika wacana penundaan pemilu di era demokrasi ini sebagai sesuatu yang wajar. Memang belum ada aturannya di saat terjadi bencana besar seperti covid-19 dan sebagainya, sehingga pemilu itu tidak bisa dilakukan. Karena itu, PKB akan mengundang para pakar untuk mengkaji hal itu sebelum bencana atau kedaruatan itu benar-benar terjadi.
Demikian disampaikan Jazilul Fawaid dalam dialektika demokrasi ‘Wacana Penundaan Pemilu, Sikap DPR?” bersama anggota Komisi II DPR RI FPDI-P Muhammad Rifqinizamy Karsayuda dan anggota dewan kehormatan Perludem Titi Anggraini di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (10/3/2022).
Bahwa usulan itu lanjut Gus Jazil – sapaan akrabnya, setelah PKB mencermati kondisi covid-19, dimana belum memiliki aturan konstitusinya ketika negara ini dihadapkan bencana besar. “Ruang itulah yang harus dikaji dengan melibatkan rakyat, agar menjadi perbincangan di warung kopi dan sebagainya. Sebab, tanpa keterlibatan rakyat amandemen konstitusi penundaan pemilu itu tak bisa dilakukan,” ujarnya.
Beda halnya dengan terjadinya kelangkaan minyak goreng, gula, mahalnya sembako dan sebagainya itu bukan wacana dan itu tugas pemerintah untuk menyelesaikan. Tapi, kalau penundaan pemilu ini wacana dan menjadi tugas MPR/DPR RI maka perlu dikaji agar tidak dianggap sebgai barang ‘haram’,” jelas Gus Jazil.
Terlebih pandemi atau bencana itu bisa berdampak pada ekonomi dan sosial politik, dimana penundaan itu belum diatur dalam konstitusi, dan agar tidak terjadi kekosongan konstitusi, maka perlu kesadaran semua pihak untuk mengkajinya. “Jadi, wacana penundaan itu bukan untuk melukai rakyat dan mencederai demokrasi lima tahunan. PKB tetap bersama rakyat,” pungkasnya.
Sementara itu Rifqinizamy dengan tegas bahwa PDIP menolak penundaan pemilu sekaligus perpanjangan jabatan presiden itu karena taat pada konstitusi. Apalagi jika membuka amandemen konstitusi, maka akan menjadi kotak pandora yang bisa merusak tatanan berbangsa dan bernegara. “Kita tak boleh memperkosa konstitusi, karenanya PDIP memandulkan syahwat politik itu,” tambahnya.
Selain itu kata Rifqinizamy, PDI-P tak mau dipertentangkan atau dihadapkan-hadapkan dengan Presiden Jokowi. Ia menggambarkan penundaan pemilu itu di 2024 menjadi tahun 2025 misalnya, lalu siapakah yang menjamin di tahun 2025 itu tidak ada bencana atau kedaruratan? “Jadi, PDIP ingin pemeirntahan Jokowi ini berakhir husnul khotimah, bukan su’ul khotimah,” ungkapnya.
Titi Anggraini mengatakan kini Indonesia sudah masuk urutan ke 52 sebagai negara terbaik dalam berdemokrasi, dan ini harus dijaga dengan diikuti pelaksanaan pemilu lima tahunan untuk memperkuat demokrasi itu sendiri. Itu yang pertama. (The Economist Intelligence Unit (EIU) telah merilis Indeks Demokrasi 2021 pada 9 Februari 2022 lalu naik ke urutan ke 52 dibanding sebelumnya di peringkat ke 64 kemajuan demokrasi dunia).
Kedua, Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan UU Ciptaker, dan ketiga, Jokowi dalam kebinetnya mencerminkan pluralitas keberagaman di Indonesia, dan dengan segala dinamikanya uji kelayakan calon anggota KPU dan Bawaslu juga mencerminkan pluralitas tersebut.
Menurut Titi, konstitusi pemilu lima tahunan itu justru untuk mengevaluasi kedaulatan rakyat secara konkret; apakah presiden itu bisa dipilih kembali atau tidak? Juga pembatasan jabatan lima tahunan. Survei pun sebesar 74 rakyat Indonesia menolak penundaan pemilu, dan tahun 2021 lalu tak ada satu negara pun yang menunda pemilunya.
“Menunda akibat alasan kemanusiaan itu harus dengan alasan yang komprehensif, dan alasan ekonomi, pandemi, perang Rusia Vs Ukraina itu terbantahkan. Sebab, pilkada terbukti menjadi spirit – stimulus pertumbuhan ekonomi di daerah, dan pemilu untuk ekonomi nasional,” ungkapnya.