DPD RI Janji Tak akan Membiarkan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

oleh

JAKARTA, REPORTET.ID – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan jika lembaganya tak akan membiarkan terjadinya tambahan periode jabatan Presiden Republik Indonesia. Bahwa DPD RI merupakan palang pintu agar jangan sampai ada penambahan tiga periode jabatan Presiden.

Demikian disampaikan LaNyalla saat memberikan Keynote Speech pada acara Dialog Kebangsaan bertema ‘Mencari Solusi Permasalahan Negara dan Bangsa’, kerja sama DPD RI dan Gerakan Bela Negara di Gedung Senayan Jakarta, Senin (14/3/2022).

Senator asal Jawa Timur itu mengaku tak masalah jika partai politik hendak melakukan amandemen konstitusi. Namun sebagai wakil daerah, LaNyalla menegaskan jika DPD RI merupakan lembaga non partisan. “Kami ini amandemen. Kami non partisan. Kami sebagai seorang independen juga berhak mengajukan diri menjadi Presiden. Saya sampaikan silahkan saja kalau mau amandemen konstitusi,” kata LaNyalla.

Menurut dia, saluran Presiden dari jalur independen bukan hal tabu. “Wali kota dan bupati ada jalur independen. Gubernur juga ada calon independen. Kenapa Presiden tidak. Kenapa? Takut?” tanya LaNyalla.

Untuk itu, LaNyalla mengajak kepada rakyat Indonesia untuk mengawasi kinerja Mahkamah Konstitusi (MK). “Saya sampaikan kepada kita semua bahwa yang harus kita soroti adalah adalah Mahkamah Konstitusi. Dia bisa memutuskan ke sana ke sini. Seolah-olah dia yang menjadi Tuhan,” tegas LaNyalla.

Padahal, di balik kekuasaan yang dimiliki MK, ada kekuasaan yang lebih tinggi dan tak terbatas yakni kekuasaan Tuhan, Allah SWT. “Untuk itu, kita harus memberi peringatan kepada MK bahwa keputusan yang mereka buat akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Jangan kita ini hidup di dunia untuk main-main,” tambahnya.

Dikatakan, keputusan ugal-ugalan Mahkamah Konstitusi karena mereka tak ada yang mengawasi. “Maka kita wajib mengawasi MK. Selama ini MK mengambil keputusan seenaknya sendiri. Kita menuntut hak kita,” tambah LaNyalla.

Dalam pemilu, bagaimana mungkin basis suara didasarkan pada pemilihan sebelumnya. “Bagaimana mungkin kita cari Presiden untuk tahun 2024 tapi berbasis Pemilu 2019. Kalau mau dipisahkan. Pemilihan DPR dulu, baru Presiden. Mari kita sampaikan kebenaran kepada MK. Berapa kali pun kita ditolak oleh MK, maka kita harus yakin suatu saat kita akan menang. Saya mengajak kepada seluruh rakyat untuk menuntut hak kita,” tutur LaNyalla.

LaNyalla menilai, masih banyak yang harus dibenahi di negeri ini. “Sudah saatnya kita memiliki generasi dan pemimpin pelurus bangsa di tahun 2024,” ungkapnya.

Judicial Review

Selain itu LaNyalla mendukung langkah partai politik baru untuk mengajukan Judicial Review Pasal 222 Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Judicial Review dibutuhkan agar ada perubahan mendasar dalam koridor kepemimpinan nasional.

“Pasal 222 menjegal partai baru atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang tidak punya basis suara hasil Pemilu sebelumnya untuk dapat mengusulkan pasangan Capres dan Cawapres,” ujar LaNyalla.

Menurutnya, partai baru seperti Partai Ummat yang digagas Amien Rais dan Partai Pelita yang digagas Din Syamsudin, serta parpol baru lainnya tidak akan bisa berbuat banyak dalam perubahan kepemimpinan nasional di 2024 nanti.

Meski hak konstitusionalnya dijamin Undang-Undang Dasar di Pasal 6A ayat (2), namun sudah dimatikan begitu saja oleh Undang-Undang Pemilu Pasal 222. “Makanya saya mendukung upaya Partai Ummat, dan Partai Politik baru lainnya, untuk mengajukan Judicial Review Pasal 222 tersebut,” ujarnya lagi.

Selama ini Mahkamah Konstitusi menolak judicial review yang diajukan oleh berbagai kalangan, dengan alasan penggugat tidak mempunyai legal standing karena bukan partai politik. “Nah ini kan partai politik walaupun parpol baru tetapi memenuhi apa yang ditegaskan oleh MK. Mereka ini punya legal standing,” tambahnya.

Pasal 222 juga membuat harapan dan tumpuan rakyat kepada Partai Politik baru sebagai saluran evaluasi terhadap kepemimpinan nasional, Presiden dan Wakil Presiden pupus atau kandas.

“Padahal partai baru tentu tujuannya untuk menawarkan gagasan sekaligus melakukan evaluasi atas ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja Partai Politik yang lama, terutama dalam menyajikan calon pemimpin bangsa, di tahun 2024 nanti,” jelasnya.

Penjegalan ini bukan saja melanggar Pasal 6A Ayat (2) Konstitusi kita, tetapi juga melanggar Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 tentang Pendirian Partai Politik, serta Undang-Undang Partai Politik, yang semua muaranya adalah menciptakan Pemilu yang berintegritas dan memiliki kepastian hukum untuk tercapainya cita-cita dan tujuan nasional.

Hadir dalam kesempatan itu para Senator Anggota DPD RI, Ketua Dewan Syuro Partai Ummat, Profesor Amien Rais, Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju, Profesor Din Syamsuddin, Guru Besar Ilmu Hukum dan Masyarakat Universitas Diponegoro, Profesor Suteki, Ketua Umum Gerakan Bela Negara, Brigjen TNI (Purnawirawan) Hidayat Purnomo dan para Pegiat dan Pemerhati Konstitusi.

Hadir pula para Senator Anggota DPD RI, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifuddin, Togar M Nero dan Brigjen (Pol) Amostian, Sekjen DPD RI Rahman Hadi dan Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir.