JAKARTA, REPORTER.ID – Makin marak dan mengancamnya mafia tanah terhadap rakyat yang terus menjadi korban, maka harus dibentuk Komisi Pemberantasan Mafia Tanah (KPMT). Apalagi para mafia tersebut kerjasama dengan aparat kepolisian, kejaksaan, kementerian ATR, sehingga mereka sulit diberantas. Presiden Jokowi pun seolah kewalahan menghadapi para mafia tersebut.
Salah seorang korban mafia tanah, Ibu Lilisanti Hasan dari Kalimantan Barat, yang tanahnya dikuasai oleh PT. Bumi Indah Raya, padahal sudah berserfikat, tapi dikalahkan di pengadilan. Karena itu, dia mengadu dan berkirim surat banyak pihak; Presiden Jokowi, Menkopolhukam, Satgas Mafia Tanah, KSP RI, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Komisi Yudisial, Ombudsman, KPK, Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) dan lain-lain. “Jadi, kemana lagi saya harus mencari keadilan?” kata Lilisanti dengan menangis.
Anggota Komisi II DPR RI FPDIP I Wayan Sudirta, menegaskan jika seluruh rakyat Indonesia harus berani melawan para mafia tanah tersebut. “Banyak kasus tanah rakyat telah dirampas dengan menghalalkan segala cara, maka kita tak boleh diam. Kita harus lawan mereka. Salah satunya dengan membentuk Komisi Pemberantasan Mafia Tanah,” kata dia.
Demikian diungkapkan I Wayan Sudirta dalam Forum Legislasi “RUU Pertanahan: Komitmen DPR Berantas Mafia Tanah”, bersama anggota Komisi II DPR RI Fraksi Gerindra Sodik Mudjahid, Korban Mafia Tanah, Lilisanti Hasan (Kalbar), dan Praktisi Hukum/Koordinator Perekat Nusantara Petrus Selestinus di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (15/3/2022).
Menurut Wayan Sudirta, Presiden Jokowi sudah berjanji dan terus bekerja untuk memberantas mafia tanah tersebut, tapi harus mendapat dukungan semua pihak. khususnya aparat penegak hukum; kepolisian, kejaksaan, dan kementerian terkait. Bahwa negara tak boleh kalah oleh mafia.
“Kita ingin Kapolri, Kejagung, Kementerian ATR, dan Presiden kompak membongkar mafia tanah ini. Kalau terbukti kini masih marak, maka tiga menteri itu tak cukup duduk di belakang meja, tapi harus terjun ke lapangan. Wong kita ini ngusir Belanda saja bisa, masak ngusir mafia tanah tidak mamu,” ungkap Wayan.
Di Bali saja tanah seluas sekitar 50 hektar milik Pure berhasil dikuasai mafia tersebut. Biasanya mereka ini kalau tak punya surat-surat dengan menguasai fisik, bikin surat tanah, lalu gugat ke pengadilan, pakai data dan surat baru yang palsu, bukti-bukti dan saksi palsu, merekayasa kasus, melibat aparat penegak hukum, dan menang di pengadilan. “Kalau kalah di pengadilan, mereka akan terus bikin ulah dan terus menggugat dengan rekayasanya itu,” jelas Wayan.
Sodik Mujahid sependapat dengan Wayan Sudirta, kalau
harus melakukan langkah yang progresif. “Jangan biarkan mafia tanah mengancam rakyat. Apalagi kalau melibatkan oknum polisi, jaksa, dan hakim. Untuk itu saya dukung Komisi Pemberantasan Mafia Tanah. Juga PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), Direktorat Khusus Mafia Tanah di Polri, dan peradilan pertanahan harus ikut aktif,” katanya.
Menurut Petrus Selestinus, pengadilan merupakan titik paling lemah dalam kasus mafia tanah. Ini yang harus diperhatikan dengan serius. “Persoalannya kita dilarang mengintervensi pengadilan atau hakim, sehingga harus dengan terobosan membentuk Komisi Pemberantasan Mafia Tanah,” ungkapnya.