Oleh : Gantyo Koespradono
BEBERAPA hari terakhir sejumlah media kembali memberitakan wacana Pemilu 2024 ditunda. Sumber beritanya antara lain Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Judul beritanya antara lain: 1. Luhut Sebut Big Data Masyarakat Ingin Pemilu Ditunda. 2. Luhut Klaim Pemilih Demokrat, Gerindra, PDIP Dukung Pemilu Ditunda. 3. Luhut Klaim Kantongi Aspirasi Rakyat Ingin Pemilu 2024 Ditunda.
Membaca judul-judul berita di atas, saya menduga Luhut berbicara soal wacana penundaan pemilu itu secara khusus dalam acara jumpa pers. Dugaan saya salah. Ternyata Luhut berbicara soal itu dalam acara podcast-nya Deddy Corbuzier yang dipancarkan lewat kanal YouTube beberapa hari lalu.
Lagi-lagi dengan membaca judul dan sebagian isinya, muncul kesan — setidaknya yang saya pikirkan — Luhut ngotot Pemilu 2024 ditunda. Muncul pula prasangka dan pembenaran bahwa “biang kerok” ribut-ribut wacana penundaan pemilu tak lain dan tak bukan adalah Luhut Binsar Pandjaitan.
Harap maklum. Dua pekan lalu saya mendapat informasi bahwa orang dalam Istana-lah yang menghendaki pemilu ditunda agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa memperpanjang masa jabatannya sebagai presiden.
Informasi itu bahkan dibumbui bahwa ada aktivitas “money politics” yang jumlahnya hingga triliuan rupiah dan mengalir ke sejumlah partai. Saya tentu bertanya-tanya, “Apa ya, sih?”
Penasaran dengan pernyataan Luhut, saya kemudian menonton sampai habis obrolan Deddy Corbuzier dengan Luhut di YouTube.
Kesimpulan saya ternyata tidak “seseram” yang diberitakan di media online. Apa yang disampaikan Luhut biasa-biasa saja. Normatif. Tidak ada penegasan bahwa Istana menghendaki pemilu ditunda dengan berbagai alasan.
Jika pun Luhut mengungkapkan tentang suksesi kepemimpinan Jokowi dan disertai dengan big data 110 juta netizen yang katanya “projokowi”, ayolah kita kritis.
Big data yang disebut Luhut juga sangat normatif. Sekadar memberikan contoh. Luhut menyebut itu hanya untuk mempertegas bahwa Jokowi berhasil memimpin dan membangun Indonesia.
Bukan berarti dia minta partai-partai politik agar mengamandemen UUD 1945 dan rakyat menyetujuinya.
Ia bahkan tidak menyebut istilah “amandemen” dalam obrolannya dengan Deddy Corbuzier. Luhut bahkan menegaskan bahwa Jokowi menghormati konstitusi.
Bahwa Luhut menyebut ada warga masyarakat simpatisan Partai Demokrat, Gerindra, Golkar, PDIP dan lain-lain yang mengapresiasi kinerja Jokowi — bagian dari big data 110 juta tersebut — menurut saya, ini juga normatif.
Luhut hanya memberikan contoh yang siapa pun boleh mendebat. Katakanlah saya mengatakan Luhut ngawur, ngarang atau lebay, saya yakin Luhut juga tidak marah, apalagi mempolisikan saya.
Oleh sebab itu, menurut saya, Partai Demokrat justru lebay kalau soal itu ditanggapi serius dan merasa tersinggung karena menganggap Luhut main klaim.
Seperti yang sudah saya tulis di forum ini beberapa pekan lalu, soal Pemilu 2024 sudah selesai dan jadwal hari pencoblosan 14 Februari 2024 sudah disepakati antara DPR dan penyelenggara pemilu.
Partai NasDem dan Partai Golkar — beberapa hari lalu Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto bertemu Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di NasDem Tower — sudah bersepakat akan mengawal pemerintahan Jokowi hingga 2024. Kedua partai tidak mengungkit-ungkit wacana penundaan Pemilu 2024.
Untuk diketahui, obrolan antara Deddy dan Luhut tidak hanya menyangkut soal penundaan Pemilu 2024, tetapi juga terkait dengan gaya kepemimpinan Jokowi, gaya Luhut memimpin timnya dan rencana-rencana yang harus diselesaikan pemerintahan Jokowi.
Dalam obrolan itu, Luhut justru lebih mementingkan soal katalog elektronik (e-katalog) yang memungkinkan dunia usaha, termasuk UMKM, bisa ikut ambil bagian dalam proyek-proyek pemerintah.
Lewat e-katalog, begitu penjelasan Luhut, perusahaan-perusahaan bisa menawarkan harga barang dan jasa. Pemerintah wajib menjadikan e-katalog sebagai acuan dalam membeli produk barang dan jasa.
Melalui e-katalog, masih menurut Luhut, masyarakat bisa ikut mengontrol proses proyek yang sedang dikerjakan pemerintah.
Cara ini sekaligus bisa mencegah kongkalikong atau korupsi dalam proyek-proyek pemerintah, sebab daftar harga barang dan jasa ada di dalam e-katalog tersebut.
Sayang memang, soal upaya pencegahan korupsi ini tidak dianggap menarik oleh media. Media massa justru lebih tertarik dengan wacana penundaan Pemilu 2024 yang memancing emosi para politikus.
Padahal, setidaknya menurut saya, isu penundaan Pemilu 2024, tak lebih dari omong kosong. Banyak politikus yang menjadikannya sebagai (maaf) Toa. (Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial politik)