Oleh : Gantyo Koespradono
KITA adalah rakyat yang sesungguhnya. Ibarat sebuah organisasi atau lembaga, jabatan kita adalah sebagai ketua atau kepala, sedangkan wakil kita adalah mereka yang kini duduk di gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Itulah sebabnya mengapa para anggota DPR kerap disebut dengan istilah “wakil rakyat”. Ya, mereka sesungguhnya adalah wakil kita.
Berposisi sebagai ketua atau kepala, mudahkah kita menemui mereka di Senayan? Persisnya begitu mudahkah rakyat bertemu dengan wakil-wakil mereka?
Saya mencoba menjawabnya dengan fakta-fakta yang saya alami berikut ini. Ceritanya (bukan fiksi, ya) begini:
Kemarin (Selasa 5/4) saya ada urusan (saya sebut saja begitu) yang mengharuskan saya ke Gedung DPR.
Ke sana, saya menempatkan diri sebagai rakyat biasa. Sama dengan Anda. Sama dengan si “Mukidi” yang “kisahnya” sering jadi bahan tertawaan di grup-grup WA.
Anggap saja saya Mukidi, bukan “Kamidi” yang menurut Cak Lontong adalah orang paling kaya di Indonesia karena punya banyak nomor telepon dan perusahaan, sehingga saking grazy rich-nya, “Kamidi” pasang papan reklame di mana-mana.
Tanpa Ferrari, apalagi Lamborghini, saya ke Senayan naik angkutan rakyat commuter line (KRL). Dari Tangerang menuju Stasiun Duri.
Sampai di Stasiun Duri. Transit. Lanjut naik KRL tujuan Bogor yang melintasi Stasiun Tanah Abang. Saya turun di stasiun ini. Transit. Ganti KRL ke arah Serpong. Saya turun di Stasiun Palmerah.
Gedung DPR tidak jauh dari Stasiun Palmerah. Keluar stasiun menuju DPR cukup dengan berjalan kaki. Kulit saya sudah lumayan tahan banting dengan sinar matahari, sehingga nggak perlu dioles dengan pemoles kulit produk salah seorang grazy rich yang katanya punya jet pribadi dan akhirnya ketakutan karena kepergok anak buah Menteri Keuangan Sri Mulyani. Harus bayar pajak.
Tidak jauh dari halte Trans Jakarta, terdapat jalan pintas, ada pintu kecil untuk masuk ke halaman gedung DPR.
Saya minta izin kepada petugas yang berjaga di sini untuk masuk ke halaman rumah wakil rakyat Indonesia.
Eit, tidak diizinkan petugas. Pintu masuk itu ternyata hanya dikhususkan bagi karyawan. Petugas menyarankan saya ke pintu berikutnya.
Saya pun menuju ke pintu berikutnya. Saya lihat di sana banyak pengendara sepeda motor yang masuk. Saya menduga ini pintu yang dimaksud petugas di pintu pertama yang akan saya lewati.
Eit, ternyata bukan. “Kalau untuk pejalan kaki, pintunya ada di depan,” kata petugas di sini.
Saya lalu berjalan kaki menuju pintu depan yang dimaksud sang petugas. Lumayan jauh. Saya harus berjalan kaki hingga sampai pintu gerbang yang lokasinya di dekat Lapangan Tembak.
Sesampainya di sana, saya agak bingung sebab banyak mobil mentereng dan kinclong masuk ke gedung DPR lewat pintu ini. Tak ada pintu kecil yang biasanya dikhususkan bagi pejalan kaki.
Nekat, saya mencoba masuk melalui pintu gerbang yang dijaga petugas pengaman dalam (Pamdal) DPR. Sesampainya di sini, seperti biasa petugas bertanya, “Mau ke mana?”
Saya jawab sesuai dengan tujuan saya. Petugas bertanya lagi, ada urusan apa? Saya jawab sesuai dengan urusan saya.
Sang petugas yang sama kemudian bertanya apakah saya membawa surat swab (maksudnya hasil PCR). Saya jawab tidak.
Ia kemudian menyerahkan saya kepada petugas yang lain. Lagi-lagi saya ditanya mau ke mana, ada urusan apa dan siapakah saya (biasanya petugas bertanya “dari mana”). Mengetahui maksudnya, tentu saya tidak menjawab dari Tangerang atau dari Stasiun Palmerah. Saya hanya menyebut dari organisasi tertentu.
Saya menduga setelah menjawab apa adanya, petugas mempersilakan saya masuk. Eit, ternyata tidak. Saya harus melakukan tes antigen atau PCR dulu. Aplikasi PeduliLindungi rupanya tidak berlaku di sini.
Petugas kemudian mempersilakan saya melakukan tes di ruangan yang telah disediakan. Ada dua pilihan, mau tes antigen atau PCR.
Saya memilih tes antigen. Bayar Rp 85.000. Kalau nggak percaya, saya ada bukti pembayarannya (transfer), lho. Hehehe.
Menunggu hasil tes antigen sekitar 10 menit. Setelah hasil keluar (negatif), saya kemudian memfoto alat tes yang menunjukkan negatif.
Foto itulah yang kemudian saya tunjukkan kepada Pamdal DPR. Petugas kemudian menunjukkan langkah-langkah berikutnya.
Pamdal kemudian menunjuk Gedung Nusantara tempat tujuan saya. Namun sebelum masuk ke gedung itu, saya harus melapor dulu ke petugas di ruang yang lokasinya terpisah dengan Gedung Nusantara.
Di sini, lagi-lagi petugas bertanya kepada saya yang materi pertanyaannya “copy paste” dengan petugas sebelumnya. Tambahannya adalah saya diminta menunjukkan hasil tes antigen yang telah saya foto dan diminta meninggalkan KTP. Imbalannya saya mendapatkan secarik kertas untuk bisa masuk ke Gedung Nusantara.
Saya kemudian diminta masuk melewati alat metal detektor. Keluar dari sana, saya harus keluar lagi melewati pintu putar berjeruji besi setinggi dua setengah meteran.
Singkat cerita, setelah melewati areal parkir, sampailah saya ke Gedung Nusantara. Dengan berbekal surat pengantar masuk, saya pun menuju pintu yang juga dilengkapi metal detektor.
Belum sempat melangkah lebih jauh, petugas yang berjaga mencegah saya. Saya diminta lapor dulu ke petugas resepsionis.
Di situ, petugas lagi-lagi melakukan pertanyaan “copy paste” dari petugas sebelumnya. Tambahannya, saya ditanya di tempat yang akan saya tuju, saya bertemu dengan siapa? Apakah sudah janjian? Untuk keperluan apa? Saya dari instansi apa?
Begitu saya menyebutkan nama, wajah saya kemudian difoto. Surat pengantar masuk ditukar dengan ID card “Tamu”. Dengan ID card yang dikalungkan itulah saya bisa naik ke lantai atas menggunakan lift Gedung Nusantara.
Nah, itulah pengalaman “Mukidi” ke gedung para wakil rakyat di Senayan.
Saya kesal, sebel? Ya, nggaklah! Lha, lebih dari 10 tahun di era 1980-1990-an, sebagai wartawan, saya leluasa keluar masuk Gedung DPR RI. Entah sudah berapa presiden saya meliput di sana saat anggota DPR/MPR dilantik atau presiden sedang menyampaikan pidato kenegaraan.
Saya justru memberikan apresiasi dengan sistem keamanan yang diberlakukan di kompleks Gedung DPR/MPR. Salut.
Kembali kepada pertanyaan saya di awal tulisan ini, begitu mudahkah rakyat bertemu dengan para wakilnya di Senayan?
Andai saja ada Mukidi-Mukidi lain yang sedang kesulitan karena mengalami ketidakadilan di negeri ini misalnya, bisakah mereka bertemu dengan wakil rakyatnya untuk sekadar disapa atau dihibur?
Jawabnya terserah Anda. Saya, “Mukidi” cuma bisa berbagi pengalaman recehan di atas. (Penulis adalah wartawan senior dan kini menjadi pengamat social politik)