JAKARTA, REPORTER.ID – Sejumlah pihak hingga elemen masyarakat menyambut baik pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) oleh Ketua DPR Puan Maharani dalam rapat Paripurna DPR, Selasa (12/4) lalu.
Sekretaris Pengurus Pusat ‘Aisyiyah Tri Hastuti Nur Rochima misalnya, mengapresiasi DPR dibawah pimpinan Puan Maharani atas pengesahan UU TPKS. Menurutnya, Puan memiliki sensitivitas dan kepedulian yang tinggi terhadap perempuan.
Hal itu tergambar ketika sejak awal pembahasan Puan selalu semangat dan yakin akan RUU ini, sehingga saat pengetokan palu pengesahan Puan hingga meneteskan air mata.
“Waktu paripurna kemarin itu beliau (Puan) terharu dan itu artinya beliau sebagai pemimpin perempuan, sensitivitas dan kepeduliannya terhadap kaum perempuan itu sampai ke hati,” kata Tri Hastuti, kepada wartawan, Sabtu (16/4/2022).
Dengan disahkannya UU TPKS, kata Tri, maka akan mampu memberikan perlindungan hukum kepada korban-korban kekerasan seksual karena selama ini payung hukum yang dapat melindungi korban kekerasan seksual secara jelas dan adil itu memang belum tersedia.
Untuk itu, lanjut Tri, UU TPKS yang telah disahkan dapat menjadi payung hukum dan akan lebih mendukung bagi upaya perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual.
“Perlindungan terhadap hak bagi korban kekerasan seksual dapat lebih terjamin dengan adanya UU ini, baik dari sisi pendampingan, restitusi, rehabilitasi, maupun pemulihan yang semuanya itu ada di UU TPKS ini dan itu secara jelas semakin menguatkan perlindungan kepada korban-korban kekerasan seksual,” tutur Tri.
Tri menyampaikan, ‘Aisyiyah sejak awal konsen dan turut mengawal dalam proses penyusunan RUU TPKS tersebut. Dimana, ‘Aisyiyah secara intens melakukan pembahasan draft RUU TPKS ini.
“Sejak awal RUU TPKS muncul, hingga satu tahun terakhir ‘Aisyiyah membahas mulai dari pasal per pasal kemudian landasan sosiologisnya, tinjauan akademisnya, semua sisi kita pelajari kemudian dari situ kita memberikan masukan terhadap pasal-pasal yang ada di draft RUU TPKS,” ungkapnya.
“Masukan tersebut mulai dari isu tentang definisi yang waktu itu kita usulkan tidak perlu didefinisikan tetapi dimasukan dalam unsur-unsur pidananya, kemudian terkait dengan rehabilitasi dan restitusi termasuk bagaimana pelaporan itu tidak dibatasi waktu dan peran aktif Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, itu menjadi beberapa usulan kami beserta banyak catatan lain yang kami berikan dalam rangka menguatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual,” tambah Tri.
Terkait beberapa masukan dari ‘Aisyiyah tersebut, Tri menyebut, usulan telah disampaikan secara tertulis kepada pihak legislatif maupun eksekutif.
“Eksekutif melalui Kemenpa, legislatif melalui ketua panja dan ketua-ketua fraksi yang ada di DPR, serta kepada ketua DPR ibu Puan,” jelas Tri.
Kemudian ‘Aisyiyah juga diberikan kesempatan oleh ketua panja untuk menyampaikan masukan secara lisan pada saat pembahasan DIM (Daftar Isian Masalah) yang pada saat itu sedang didiskusikan.
Menurutnya, masukan-masukan tersebut menurut Tri sudah diterima oleh para pihak terkait dan mendapatkan respon positif atas dukungan yang luar biasa dari ‘Aisyiyah sebagai organisasi masa yang cukup besar. Masukan ‘Aisyiyah ini disebut sebagai gong atas berbagai masukan bagi RUU TPKS.
Tri berharap, dengan disahkannya UU TPKS ini dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual serta memaksimalkan perlindungan kepada para korban kekerasan seksual.
Namun demikian, dengan telah disahkannya UU TPKS ini bukan berarti kerja-kerja untuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual berakhir. ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan muslim berkemajuan sejak awal berdirinya telah menunjukkan komitmen terhadap pencegahan kekerasan seksual.
“Saat ini ‘Aisyiyah telah memiliki 31 posbakum untuk melakukan pendampingan kepada korban baik secara litigasi maupun non litigasi, selain itu juga peran edukasi, dan peran pencegahan, semua itu akan semakin kuat dengan adanya payung hukum UU TPKS ini,” jelasnya.
Ke depan, ‘Aisyiyah melalui para legalnya akan turut mensosialisasikan UU TPKS ini. Tri menyebutkan pasca sebuah UU sudah disahkan, maka sosialisasi harus digencarkan agar masyarakat memahaminya.
Ia menyebutkan, sebuah contoh nyata bahwa UU KDRT yang sudah disahkan di tahun 2014 masih sangat minim diketahui oleh masyarakat.
“Sering kali salah satu problem setelah disahkannya UU adalah terkait sosialisasi, UU KDRT sudah sejak 2014 ditetapkan tetapi kalau kita ketemu ibu-ibu di komunitas banyak yang tidak mengetahui perlindungan bagi perempuan yang mengalami KDRT, maka saya yakin hal yang sama juga akan terjadi di UU TPKS ini, oleh karena itu ‘Aisyiyah akan mengambil peran-peran ini untuk melakukan sosialisasi bahwa untuk pencegahan dan perlindungan kekerasan seksual itu negara ini sudah memiliki payung hukumnya,” pungkasnya.