JAKARTA, REPORTER.ID – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, meminta perang Rusia dan Ukraina segera dihentikan. Permintaan itu disampaikan LaNyalla kepada Wakil Ketua Duma Rusia, Saraliev Shamsail Yunusovich, melalui teleconference, pada Sabtu (30/4/2022).
“Perlu saya katakan bahwa sudah saatnya perang antara Rusia dan Ukraina dihentikan. Sudah terlalu banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak,” kata LaNyalla.
Sebagai opsinya, Senator asal Jawa Timur itu meminta Rusia untuk melanjutkan perundingan damai, melakukan gencatan senjata dan menguburkan permusuhan.
“Bukan hanya mereka yang tewas yang perlu dikuburkan, tetapi permusuhan itulah yang harus dikuburkan. Karena bagaimana pun Rusia dan Ukraina akan selamanya bertetangga. Jangan kita membiarkan diri untuk diadu-domba. Karena Rusia dan Ukraina adalah sahabat Indonesia, maka sebagai sahabat, saya perlu berbicara demikian,” tegas LaNyalla.
Dikatakan, ketika perang Rusia-Ukraina dimulai pada 24 Februari 2022, arsitektur keamanan kawasan Eurasia sudah berubah drastis dan tak akan bisa sama seperti dulu lagi. Perubahan drastis yang terjadi di Eropa ikut mengubah arsitektur keamanan kawasan Asia yang tentunya juga berpengaruh pada stabilitas di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, di mana Indonesia berada.
“Indonesia berkepentingan untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan kawasan ini serta menjaga keseimbangan eksternal yang dinamis, baik dengan Rusia maupun dengan negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang bertikai dengan Rusia,” ujarnya.
Oleh karena itu, LaNyalla siap mengurai pandangan dan gagasannya tentang proyeksi ke depan dan strategi menghadapi perubahan global yang kian meluas, apabila nanti diberi kesempatan untuk berbicara di hadapan Sidang Istimewa Duma Negara Rusia.
Saraliev sendiri mengaku tak hanya akan mengundang LaNyalla untuk menyampaikan gagasannya di hadapan Sidang Istimewa Duma Negara Rusia, tetapi juga akan mengajaknya bertemu dengan Presiden chechnya.
“Beliau (Presiden Chechnya) sangat mencintai umat Muslim di seluruh dunia, termasuk Indonesia,” ujar Saraliev.
Ia setuju dengan pendapat LaNyalla untuk menciptakan keseimbangan dan perdamaian dunia.
Namun, kata dia, akan ada tantangan dari Barat yang akan menghalangi, karena dalam pandangannya, Barat akan selalu menekan negara lemah yang dapat ditekan dan selalu menghalangi penciptaan keamanan seimbang di kawasan.
“Rusia dan Ukraina merupakan rumpun dan suku bangsa yang sama, bukan hanya tetangga. Masyarakat Rusia dan Ukraina mayoritas beragama sama dan oleh karenanya kami dianggap bersaudara. Sayang sekali, dalam 15 tahun terakhir ini ada pihak ketiga yang mengadudomba kedua bangsa bersaudara ini,” kata Saraliev.
Menurutnya, pihak ketiga inilah yang membuat kedua bangsa ini bermusuhan. Bahkan, kata dia, provokasi pihak ketiga sampai pada melarang bahasa Rusia digunakan di negara tetangga, padahal penduduknya berbahasa Rusia.
“Operasi militer khusus yang ditempuh Rusia merupakan pilihan terakhir yang sebetulnya tidak kami inginkan. Tetapi terpaksa kami lakukan karena pihak ketiga memaksakan nasionalisme sempit di negara sebelah, sehingga kami terpaksa melakukannya,” jelas Saraliev.
Yang terjadi sesungguhnya menurut Saraliev, masyarakat Rusia tak memusuhi warga Ukraina. “Yang terjadi adalah, karena hasutan pihak ketiga yang membuat bermusuhan, sehingga kami terpojok dan harus mengambil tindakan. Ukraina adalah salah satu instrumen yang digunakan negara Barat untuk menekan Rusia,” tutur dia.
Rusia kata Saraliev, sesungguhnya memiliki pengalaman diadudomba di masa silam, tepatnya 30 tahun lalu ketika Cechnya diadudomba melawan Soviet.
“Mereka tak menyembunyikan bahwa mereka tidak menyukai Rusia yang penuh sumber daya alam. Mereka melihat Rusia seperti bajak laut melihat targetnya. Seolah-olah Rusia adalah kapal yang harus dirampok. Kami mempertahankan integritas teritorial kami. Sementara Barat berperang melawan Rusia menggunakan Ukraina,” jelas Saraliev.
Sebelum operasi militer khusus dilancarkan, Saraliev mengaku jalan perundingan dengan Ukraina sudah ditempuh. Rusia telah meminta Uraina agar tak terhasut propaganda yang dilancarkan Barat untuk merusak keharmonisan kedua negara.
Namun hal itu sia-sia, sehingga Rusia tak memiliki pilihan lain selain melancarkan operasi militer khusus.
“Kami memperoleh informasi bahwa hal ini sengaja sebagai bagian dari agenda besar yang sudah dirancang sejak lama. Bukan kali ini saja mereka begitu. Irak, Libya, Afganistan merasakan hal sama, di mana Amerika dan sekutunya berperang dengan negara lain menggunakan negara lain. Militer Rusia di Ukraina tidak lebih buruk ketika negara Barat menginvasi negara lain,” pungkas Saraliev.