Oleh : Laksamana Madya TNI (Purn.) Freddy Numberi
Founder Numberi Center
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT Dunia) tanggal 16 September 2005 di mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga hadir, negara-negara anggota PBB menyepakati dalam sidang umum PBB tersebut khususnya paragraf 143, yang berbunyi sebagai berikut: “Kami menekankan hak orang untuk hidup dalam kebebasan dan bermartabat, bebas dari kemiskinan dan putus asa. Kami menyadari bahwa semua individu, khususnya orang-orang yang rentan, berhak atas kebebasan dari ketakutan dan kebebasan dari kekurangan, dengan kesempatan yang sama untuk menikmati semua hak mereka dan mengembangkan sepenuhnya potensi kemanusiaan mereka. Untuk tujuan ini, kami berkomitmen untuk mendiskusikan dan mendefinisikan gagasan tentang keamanan manusia di Majelis Umum.”
Kemudian pada Resolusi 64/291 tanggal 16 Juli 2010, menekankan : point 3.(b) yang menyebut, keamanan manusia menyerukan untuk berpusat pada orang, komprehensif, spesifik kontek dan tanggapan berorientasi pencegahan yang memperkuat perlindungan dan pemberdayaan semua orang dan komunitas.
Point 3.(c) menyatakan, keamanan manusia mengakui keterkaitan antara perdamaian, pembangunan dan hak asasi manusia dan sama-sama mempertimbangkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kemudian resolusi ini diadopsi melalui Resolusi 66/290 tanggal 10 September 2012, menjadi tonggak penting bagi negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia.
Dengan demikian negara-negara anggota PBB orientasinya harus berubah, bukan lagi state oriented (orientasi negara) tetapi human oriented (orientasi manusia). Bahwa keamanan negara itu penting, tetapi lebih penting lagi adalah keamanan manusia yang menjadi warga negaranya.
Resolusi PBB ini mewajibkan Indonesia untuk melindungi warga negaranya terutama di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat). Apa yang dialami masyarakat sipil tidak berdosa selama satu dekade setelah diadopsi Resolusi PBB nomor 66/290, tanggal 10 September 2012, menjadi preseden buruk bagi pemerintah Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Laporan Human Rights Council tanggal 10 Maret 2008 maupun United Nation Human Rights Office of The High Commisioner, tanggal 1 Maret 2022.
Di bawah leadership Presiden Jokowi (2019-2024) diperlukan adanya Road Map Human Security (RMHS) bagi Tanah Papua dalam menata keamanan manusia untuk meraih Papua Tanah Damai dalam bingkai NKRI. Sekjen PBB Antonio Guiteres, mengatakan, “Saya yakin bahwa terciptanya masyarakat terbuka yang adil, inklusif dan plural, berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan dengan peluang ekonomi untuk semua, merupakan alternatif paling nyata dan bermakna untuk mengatasi kekerasan ekstrim.”
(Derek S. Reverson and Kathleen A. Mahony-Noris, London,2019) Admiral Kurt Tidd, U.S. Southern Command (2017) berkomentar : “Violent non-state actors can, and do, challenge the sovereignty of our nations, the integrity of our institution, and the safety of our citizens. For many nations, the line between internal defense and domestic security is blurring.” (Sumber : www.southcom.mil/Media/Speeches-Transcripts/Article/1127277/adm-tidd-preparedremarks-central-american-regional-leaders-conference/. Diakses tanggal 16 Mei 2021).
(Penulis adalah mantan Menteri Perhubungan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, mantan Men-PAN-RB, mantan Gubernur Papua, dan mantan Dubes Indonesia untuk Italia dan Malta).