Pinjol Online 95 % Ilegal, INDEF Desak Revisi UU Keuangan

oleh

JAKARTA,REPORTER.ID – Salah satu tantangan paling penting bagi OJK Otoritas Jasa Keuangan) adalah bagaimana tingkat literasi masyarakat tentang lembaga keuangan bank dan non bank khususnya digital financial, dapat ditingkatkan secara signifikan. Hal itu untuk menjawab banyaknya masalah di masyarakat yang mengeluhkan tentang pinjaman online liar yang meresahkan, dan menuntut peran serta OJK sebagai badan regulator keuangan.

“Sebanyak 95% platform digital financial khususnya pinjaman online di Indonesia didominasil oleh pinjaman online Ilegal/liar. Yang terdaftar di OJK dari pinjol-pinjol tersebut sangat sedikit. Untuk itu keharusan merampungkan Undang-undang Keuangan harus menjadi prioritas. Apalagi setelah pandemi kebutuhan orang akan digital financial menjadi semakin meningkat. Jika literasi masyarakat tidak ditingkatkan maka akan berakibat buruk bagi sistem keuangan di Indonesia ke depan,” demikian Dr Eisha M Rachbini (Ekonom INDEF) dalam diskusi “Menakar Kinerja OJK di Hutan Rimba Lembaga Keuangan” bersama Eko B Supriyanto (Pemred Majalah Infobank) dan dimoderatori oleh Didik J Rachbini di Jakarta, pada Minggu (12/6/2022) petang.

Menurut Eisha, perkembangan teknologi informasi (AI) khususnya di bidang digital financial bergerak sangat cepat. Dibutuhkan payung hukum yang dapat diselesaikan dengan lebih cepat mengimbangi kecepatan teknologi digital, agar masalah-masalah yang muncul dapat cepat di atasi. Terlebih pada tahun 2025 perkembanan teknologi digital financial akan berkembang dua kali lipat dari saat ini.

Sementara itu menurut Eko B Supriyanto (Pemred Majalah Infobank) bahwa hasil survei, kinerja OJK saat ini memang belum dapat dikatakan sukses, karena ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Pertama, dari misi utama didirikannya OJK adalah bagaimana pengawasan terhadap konglomerasi yang terintegrasi bisa berjalan dengan baik. Berkaca dari krisis, dalam mengawasi grup perusahaan yang mempunyai bank, asuransi, multifinance, sekuritas dan lain-lain bisa diawasi dalam satu payung.Tetapi pengawasan konglomerasi di Indonesia menurut world bank belum maksimal.

“Di sektor KNB, masalah asuransi seperti Bumi Putera meski bukan salah OJK tetapi tetap harus diselesaikan, karena menjadi citra buruk bagi OJK. Juga masalah asuransi Kresna yang dipailitkan bukan oleh OJK tapi oleh PKPU. Padahal dalam UU Keuangan yang bisa mempailitkan perusahaan jasa keuangan adalah OJK,” ujarnya.

Terkait masalah Pinjaman Online resmi atau Pinjol liar lanjut Eko, yang amat penting dilakukan sekarang bagaimana meningkatkan literasi masyarakat tentang utang, kegunaan utang, bagaimana membayar utang. Meski juga OJK dinilai telah dengan ketat melakukan seleksi terhadap jumlah perusahaan pinjaman online resmi yang sekarang berkisar 105 ketimbang dahulu sampai 225.

Satu hal yang dinilai sukses ditangani oleh OJK adalah bagaimana OJK membereskan persoalan Bank Muamalat, Bukopin, dan Bank Banten yang selesai ditangani. Itu keberhasilan OJK.

“Maka, amat diperlukan saat mengamandemen UU Keuangan terkait OJK, agar struktur di Anggota Dewan Komisaris (ADK) OJK agar dalam satu tubuh OJK tidak terdapat “silo-silo” tersendiri. Leadership pimpinan OJK juga harus seperti pimpinan Bank Indonesia (BI) yang bisa mengatur dan mengambil keputusan secara lintas divisi di dalam tubuhnya. Di tengah hutan rimba sistem keuangan yang semakin complicated, masalah leadership dan Dewan Pengawas OJK yang harus didirikan menjadi semakin penting,” ungkap Eko.

Di samping itu, semua catatan penting untuk OJK kata Eko, adalah bagaimana bisa berperan dalam meningkatkan literasi masyarakat tentang keuangan secara masif dan digital financial, juga financial deepening serta pengawasan terhadap konglomerasi yang harus dilakukan OJK.