Oleh : Laksamana Madya (Purn) Freddy Numberi, SIP
Founder Numberi Center
Menjadi pertanyaan dibenak generasi milenial Papua: “Bagaimana visi Indonesia kedepan tentang Tanah Papua yang penuh dinamika dan tantangan ini?”
Bagaimana membangun keutuhan bangsa dan merajut kembali ikatan kebersamaan, baik dalam “pengorbanan (sacrifice)” maupun dalam “solidaritas (solidarity)” sebagaimana dipersyaratkan Renan. Benedict Anderson dalam Imagined Communities, London, 2006 : hal.7 menyatakan, ”Bagaimana mengubah nation Indonesia dari hanya sebuah imajinasi menjadi komunitas nyata.” Yaitu bangsa Indonesia yang terbangun dari suatu persahabatan yang dalam dan kuat serta langgeng.
Jakarta perlu membangun suatu kepercayaan kembali (trust building), agar OAP (Orang Asli Papua) lebih percaya kepada pemerintah Indonesia dibandingkan janji-janji para oknum-oknum “provokator” yang menjanjikan Papua merdeka, karena tidak memahami substansi sejarah awal Karesidenan Papua secara benar dan bijak. Integrasi nasional sesuai piagam politik New York Agreement 15 Agustus 1962, pada hakekatnya bersifat dinamis dan selalu mengikuti arus perubahan sosial di era globalisasi dewasa ini. Dengan demikian masalah Papua tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang “taken for granted” (terima apa adanya), tetapi butuh perubahan “mindset” (cara berfikir) baik di Jakarta maupun masyarakat Papua sendiri dalam menilai perkembangan yang ada sebagai suatu keniscayaan untuk meraih Papua yang lebih damai, adil, dan sejahtera, Demokratis dan Hak Asasi Manusia Orang Asli Papua (OAP) dihargai sesuai harapan Presiden Jokowi maupun masyarakat Internasional dalam Resolusi PBB nomot 2504 (XXIV) tanggal 19 November 1969.
Pemahaman ini menjadi solusi komprehensif yang permanen dan tuntas sehingga masyarakat Papua tidak lagi menjadi korban sejarah masa lalu, tetapi menjadi memoria felicitas (ingatan kebahagiaan) karena menjadi tuan di tanahnya sendiri sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2O2I Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2OO1 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Diharapkan kedepan dimasa pemerintahan Presiden Ir. H. Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Tanah Papua bukan menjadi “kerikil dalam sepatu Indonesia maupun Internasional” karena pembangunan di Papua benar-benar mensejahterakan OAP secara komprehensif dan menyuluruh sesuai Undang-Undang No. 2 Tahun 2021 dan tidak merekayasa kewenangan yang diberikan kepada pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat maupun provinsi-provinsi lainnya di Tanah Papua dengan setengah hati.
Lalu dari mana diketahui bahwa pemerintah pusat “setengah hati” dalam memberikan Otsus itu? Dari evaluasi dapat diketahui pada Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 pada Bab IV Kewenangan Daerah sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari bunyi Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, sangat jelas adanya pembagian kewenangan antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan kewenangan pemerintah Jakarta.
Provinsi Papua dan Papua Barat seakan-akan diberikan seluruh kewenangan di bidang pemerintahan. Sebaliknya pemerintah Jakarta juga seakan-akan hanya memiliki (6) enam kewenangan saja yaitu: kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan.
Akan tetapi, dengan adanya tambahan frasa “kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, menjadikan semuanya itu berubah. Tambahan frasa inilah yang merupakan bukti pemerintah Jakarta “setengah hati” dalam memberikan Otsus kepada provinsi Papua dan Papua Barat. Hal itu dikarenakan, dengan menggunakan frasa ini maka pemerintah Jakarta bisa keluar dan menambah dari 6 kewenangan yang sudah disebutkan dengan jelas, serta mereduksi kewenangan pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat.
Sebagai pembanding, mari kita lihat UU 11/2006 tentang Pemerintah Aceh. Untuk mengakomodasi permintaan GAM untuk merdeka, pemerintah RI telah membuat UU 11/2006 tentang Pemerintah Aceh terlihat pada Bab IV Kewenangan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota sebagai berikut :
Pasal 7
(1) Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah.
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Dari bunyi pasal 7 UU 11/2006 tentang Provinsi Aceh sangat jelas terlihat bahwa semua kewenangan untuk menjalankan roda pemerintahan ada di tangan Pemerintah Provinsi Aceh. Pemerintah Jakarta hanya memiliki 6 kewenangan saja yaitu kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Jadi sangat jelas untuk Aceh pemerintah Jakarta hanya memiliki 6 kewenangan saja. Selain kewenangan itu adalah kewenangan pemerintah Aceh. Hal ini berbeda dengan UU/ 21 Tahun 2001, tentang Otsus Papua dan Otsus Papua Barat. Kewenangan pemerintah Jakarta selain kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang Agama, sama seperti di Aceh, namun masih ada kewenangan tertentu lainnya yang akan diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Artinya kewenangan pemerintah Jakarta masih bisa “keluar” dari 6 kewenangan yang disebut di atas. Jadi terlihat kesan “setengah hati” dalam memberikan Otsus kepada provinsi Papua dan Papua Barat.
Itulah sebabnya ada pihak-pihak yang menyatakan kegagalan Otsus di Papua dan Papua Barat karena campur tangan pemerintah Jakarta.
Hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Otsus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat harus dilanjutkan. Akan tapi dalam membuat Undang-Undangnya frasa “kewenangan lain yang akan diatur dengan peraturan perundang-undangan” harus dihapuskan.
Thoby Mutis dalam, Manajemen Kemajemukan, Sebuah Keniscayaan Untuk Mengelola Kebhinekaan Manusia Indonesia, Visi 2030 Universitas Trisakti,2008: hal.5 mengatakan, “Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna.’’ (Penulis adalah mantan Menhub, mantan Menpan-RB, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, mantan Dubes Indonesia untuk Italia dan mantan Gubernur Papua).