Kinerja Komite II DPD RI Masa Sidang V 2021-2022

oleh

JAKARTA,REPORTER.ID  – Komite II DPD RI pada Jumat (8/7/2022) telah menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya selama Masa Sidang V Tahun Sidang 2021 – 2022. Selama masa sidang tersebut, Komite II DPD RI telah menyelesaikan satu tugas legislatif, tiga tugas pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, serta beberapa tugas advokasi untuk menindaklanjuti langsung aspirasi masyarakat dan daerah.

Pertama, Komite II DPD RI telah menyelesaikan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi). Terdapat 11 (sebelas) substansi dari UU Energi yang diubah oleh Komite II DPD RI meliputi:
(1) Penguasaan, pengaturan, dan pengelompokan sumber daya energi.
(2) Cadangan penyangga energi yang menjamin ketahanan energi nasional.
(3) Penetapan dan pengendalian keadaan krisis dan darurat energi.
(4) Kejelasan komponen variabel harga energi.
(5) Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
(6) Kejelasan target dan komitmen Indonesia untuk transisi energi menuju Net Zero Emission.
(7) Restrukturisasi dan revitalisasi Dewan Energi Nasional (DEN).
(8) Pengaturan kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengaturan sektor energi,
(9) Pendanaan transisi energi.
(10) Basis hukum untuk komitmen pengendalian perubahan iklim.
(11) Peran, hak, dan kewajiban masyarakat serta pelaku usaha terkait pembatasan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagai bagian dari komitmen perubahan iklim.

Ketua Komite II DPD RI, Yorrys Raweyai, menjelaskan dengan pertimbangan politik legislasi atas usulan RUU ini, serta beberapa usulan perubahan yang tercantum di dalam Draf RUU ini tidak mengubah esensi dari konsep dasar energi dan pengelolaannya sebagaimana tercantum dalam UU Energi. “Kami mengusulkan untuk mengubah (bukan mengganti) UU Energi”, ujarnya.

Yorrys Raweyai mengatakan mengenai konteks definisi sumber daya energi yang bersumber dari energi terbarukan dan energi tidak terbarukan. “Kami berpendapat untuk menghilangkan definisi “energi baru” di dalam RUU Perubahan Atas UU Energi. “Kita perlu konsisten untuk penggunaan definisi ini di dalam batang tubuh” jelasnya.

Lebih lanjut, Senator asal Papua juga berpendapat bahwa pihaknya perlu membedakan secara jelas, kategori sumber daya energi terbarukan yang sifatnya ekstraktif dan sumber daya energi tidak terbarukan. Keduanya berada di bawah penguasaan negara. “Tapi, sumber daya energi terbarukan yang sifatnya non-ekstraktif tidak dapat dikuasai negara; melainkan diatur oleh negara” ungkapnya.

Kedua, Komite II DPD RI melakukan pengawasan atas pelaksanaan beberapa undang-undang di daerah, meliputi:
(1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran)
(2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan)
(3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
“Seluruh kegiatan pengawasan tersebut menghasilkan rekomendasi yang dikeluarkan DPD RI atas temuan-temuan di daerah, baik untuk penguatan implementasi pelaksanaan undang-undang maupun penguatan regulasi di daerah,” kata Yorrys Raweyai.

Berdasarkan hasil pengawasan UU Pelayaran, Komite II DPD RI telah memberikan beberapa rekomendasi tertulis yang disampaikan dalam Sidang Paripurna.
Namun demikian, untuk memperkuat sektor pelayaran di daerah maupun secara nasional, kami meminta Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Untuk saling bersinergi dalam hal percepatan penyelesaian masalah sektoral pelayaran di daerah yang saling bersinggungan” jelas Yorrys Raweyai.

“Kami minta KLHK untuk mempercepat penyelesaian masalah lahan pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat di Sumatera Selatan yang tanahnya masuk dalam kawasan hutan lindung” tambah Yorrys Raweyai.

Kementerian BUMN, dengan anak usahanya di sektor pelabuhan, Komite II DPD RI juga minta untuk memperkuat shippling line agar pelabuhan di daerah-daerah bisa melakukan ekspor langsung, sehingga ini dapat menekan biaya logistik kita yang tinggi.

“Sementara untuk Kementerian Perhubungan, kami minta agar dapat memperkuat sinergi antar kementerian/lembaga kepelabuhanan sehingga durasi dwelling time di setiap pelabuhan kita dapat dipersingkat,” imbuh Yorrys Raweyai.

Untuk rekomendasi hasil pengawasan UU Perikanan, Komite II DPD RI memberikan penekanan khususnya untuk percepatan realisasi Maluku Lumbung Ikan Nasional (M-LIN) yang sudah lama diwacanakan sejak periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Kami minta Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) segera merealisasikan M-LIN serta regulasi pendukungnya” ungkap Yorrys Raweyai.

“Selain itu, kami minta KKP untuk mengkaji kembali kebijakan pengalihan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPNRI) 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda) yang menjadi zona nursery and spawning ground, kecuali untuk nelayan dengan kapal ukuran 20 GT (gross tonnage) ke bawah untuk menghindari munculnya masalah dan konflik sosial baru,” tutur Yorrys Raweyai.

Masalah kuantitas dan kualitas penyuluh perikanan juga menjadi hasil temuan DPD RI yang seharusnya mendapatkan perhatian penuh Pemerintah Indonesia untuk dapat meningkatkan produktivitas perikanan. Hal ini menjadi rekomendasi sebagai hasil pengawasan UU Perikanan maupun UU 7/2016.

“Untuk hasil pengawasan UU 7/2016, kami mengetahui bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) Perikanan untuk daerah itu tidak setiap tahun tersedia. Pun tersedia, jumlah dan daerahnya sangat terbatas. Sehingga, kami minta KKP, Bappenas, dan Kementerian Keuangan untuk dapat memperhatikan hal ini. DAK Perikanan ini perlu untuk memenuhi kebutuhan benih ikan di daerah-daerah yang disalurkan melalui Balai Benih Ikan” kata Yorrys Raweyai lagi.

Ketiga, Komite II DPD RI juga telah melakukan kegiatan advokasi di beberapa daerah, meliputi daerah:

(1) Provinsi Kalimantan Utara, terkait persoalan adanya beberapa perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan ilegal dan merusak lingkungan di wilayah tanah ulayat Kesultanan Bulungan.
(2) Provinsi Kalimantan Timur, terkait desa-desa terpencil yang ternyata belum mendapatkan aliran listrik tetapi menurut Rasio Desa Berlistrik di provinsi tersebut sudah mencapai 100 persen.
(3) Provinsi Nusa Tenggara Timur, terkait kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh salah satu perusahaan di atas tanah ulayat yang dianggap telah merusak lingkungan sekitar.
(4) Provinsi Sulawesi Utara, terkait persoalan penolakan masyarakat Pulau Bunaken terhadap Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.734/Menhut-II/2014 yang menyangkut kepemilikan hak atas tanah warga masyarakat Pulau Bunaken.

“Seluruh aspirasi yang dihimpun dalam kunjungan kerja tersebut akan dikaji lebih lanjut oleh Komite II dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait,” pungkas Yorrys Raweyai.