Didik J Rachbini: Potensi Resesi Ada, Jangan Samakan Sri Lanka dengan Indonesia

oleh

JAKARTA,REPORTER.ID – Baru-baru ini publik dikejutkan dengan kasus antri makanan di negara adidaya Amerika Serikat. Nampaknya krisis pandemi covid-19 terus berlanjut bahkan setelah covid-19 itu sendiri berakhir menjadi endemi. Sebelumnya, dua negara mengalami krisis ekonomi dan politik, yakni Pakistan dan Sri Lanka.

Pertanyaannya; apakah ada ancaman krisis ekonomi di Indonesia dalam satu atau dua tahun ke depan?

Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, tetapi bisa dikaji dari indikasi-indikasinya. Setidaknya ada 5 indkasi masalah yang terus berkelindan dalam ekonomi Indonesia, yakni Pertama, Krisis covid-19 dan dampaknya yang ternyata tidak berhenti setelah krisis berhenti. Dampaknya terus ada setelah covid-19-nya berhenti. Berbeda dengan krisis ekonomi yang berhenti ketika inflasi telah reda, masalah supplai selesai, Perbankan sudah bisa memberikan kredit lagi. Tetapi krisis Indonesia multi dimensi, paling tidak ada 2 dimensi yakni Kesehatan dan Ekonomi.

Demikian disampaikan Prof DR Didik J Rachbini dalam diskusi Forum Guru Besar INSAN CITA di Jakarta, Minggu (17/7/2022).

Meski berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya kata Rektor Universitas Paramadina Jakarta itu, seharusnya pemerintah tidak boleh abai terhadap dampak dari krisis covid-19 ini.

Rumitnya, justru krisis covid-19 ini dimulai dari kebijakan yang tidak memadai, bahkan tidak karuan karena respon kebijakan salah kaprah di awal krisis covid-19 pada tahun 2020. Pertanda bahwa pemerintah sayangnya tidak punya kapabilitas yang memadai dalam merespon krisis covid-19 ini. “Masalah reda hampir dengan sendirinya ketika semakin banyak populasi penduduk terjangkit virus ini dan menadi kebal – selain usaha pemerintah yang semakin baik dalam menanganinya,” ujarnya.

Kedua, yaitu Kesinambungan Pertumbuhan Ekonomi. Bukan hanya janji presiden dulu untuk tumbuh 7 persen. Ini lupakana saja karena mustahil terwujud. Untuk mempertahankan pertumbuhana ekonomoi 5 persen seperti sekarang masih menjadi tanda tanya karena pengaruh krisis global yang sudah memakan korban, Sri Lanka dan Pakitan.

Didik mengatakan, dalam dua periode pemerintahan ini tidak usah berharap ekonomio tumbuh 7u persen seperti janji kampanye, tidak akan sampai ke tingkat itu. Dalam keadaan tidak krisis saja 2014-2019 pertumbuhan ekonomi nyatanya tidak seperti yang dijanjikan, apalagi ketika terjadi krisis.

Apa yang akan terjadi berikutnya? “Dengan pertumbuhan ekonomi hampir satu dekade seperti saat ini, maka harapan bangsa Indonesia untuk melakukan lompatan menjadi negara industri menjadi sulit dan bahkan tidak akan terwujud. Pemerintah menyia-nyiakan momentum historis bonus demografi, yang hanya datang sekali dalam sejarah-bangsa-bangsa. Indonesia di tangan regim seperti ini akan menjadi negara yang lembek dan sakit. Pendapatgan per kapita cuma naik turun di sekitar 4 ribu US dollar,” ungkapnya.

Sementara itu Korea Selatan yang setara pada tahun1970-an awal sudah terbang dengan pendapatan per kapita 33 ribu US dollar dan Malaysia 12 ribu dollar per kapita. Indonesia yang sakit sangat sulit melompat dari negara berpendapatgan menengah menjadi negara berp[endapatan tinggi melewati batar 10 ribu US dollar per kapita.

Di dalam pemerintahan sekaarang ini lanjut Didik, ekonomi mandeg di sini, sudah hampir 10 tahun ini pendatapan per kapita kita hanya 4 ribu US dollar karena kepemimpinan dan kebijakan yang tidak memadai dan lemah.

Bonus demografi hilang, dimana stagnasi pendapagan menengah bawah akan menyimpan masalah besar, posri kemiskinan penduduk akan cukup besar. Hal itu akan menjadi masalah dalam stabilitas sosial.

Ketiga, adalah Krisis Harga Pangan dan Energi. Di Amerika saat ini inflasi mulai tinggi dan sudah mulai ada antrian makanan. Makanan cukup, tetapi harganya tidak lagi terjangkau. Dalam ekonomi itu diartikan kondisi mulai sedikit chaos. Mengapa hal itu tidak atau belum terjadi di Indonesia? “Pemerintah Indonesia kini menyiram subsidi besar-besaran dan mencegat semua kemungkinan inflasi dengan mengorbankan apa saja sumber daya, menguras APBN, dan berutang besar. Cara kebijakan yang sembrono seperti ini berbahaya dan akan menjadi bom waktu di masa mendatang. Bebannya akan ditimpakan pada presiden yang akan datang. Sehingga,.Presiden mendatang akan mendapat beban yang sangat berat dari warisan sekarang,” tambah Didik.

Subsidi dari pemerintah saat ini sudah mencapai lebih dari Rp500 triliun. Suatu jumlah yang sangat besar dan berat. Hal itu sama dengan anggaran Presiden SBY dulu yang Rp500 triliun untuk semua kabupaten dan propinsi, dan digunakan untuk bermacam-macam bidang pertahanan, keamanan, pendidikan, perikanan dan lain-lain.

“Jadi, presiden saat ini mengambil langkah-langkah subsidi yang sangat besar dalam rangka mencari aman, tetapi akan membebani presiden berikutnya,” tuturnya.

Keempat, ada utang yang sangat besar dan defisit dalam setahun Rp1000 triliun. Utang satu tahun sebesar Rp1,500 triliun, yang berarti hal itu lebih besar dari pendapatan pajak dari seluruh rakyat Indonesia. Mengapa bisa terjadi? Karena tidak ada check and balance; Parlemen 82 persen dikuasai partai pendukung pemerintah. Tidak ada yang berani untuk mengontrol.

Anehnya kata Didik, justu pada masa krisis sekarang, Pemda-pemda, Bupati dan seterusnya berfoya-foya hampir dua kali lebih besar dari masa sebelum krisis. Itu bisa dihitung dari angka di kementerian berapa kali perjalanan dinas, dalam dan luar negeri, yang ternyata lebih banyak. Alasannya agar ekonomi bergerak, tetapi tentu saja bukan seperti itu caranya.

Pada saat krisis ini menurut Didik, semestinya anggaran lebih dikendalikan. Ketika krisis, orang seharusnya menghemat, tidak kemana-mana dulu. Bisa terjadi ada pemotongan anggaran. Potongan itulah yang dimasukkan dalam anggaran PEN. tetapi sekarang yang terjadi dipotong pun tidak, tetapi anggaran PEN sudah Rp700 triliun.

Kelima, adanya Kesenjangan Sosial. Apakah Indonesia akan mengalami nasib seperti Srilanka dan Pakistan? Dari segi ekonomi pasti berbeda. Indonesia 1 triliun US dollar PDB, Srilanka hanya ber PDB 80 miliar USD. Jadi Indonesia is large economy, srilanka small economy. Pada saat Indonesia krisis, Srilanka tidak alami krisis. Tidak ada hubungan langsung antara Srilanka dan Indonesia. Yang ada, masalah-masalah point 1 sd 5 di atas, apakah bisa diselesaikan? sementara ini pola penyelesainnya seperti pada point Ketiga, dengan menggelontorkan subsidi besar-besaran. Krisis Harga bisa dikendalikan, tetapi dengan mengorbankan banyak sekali hal. Krisis barangkali bisa tertunda. Akan lebih baik seperti saran Pak Jusuf Kalla (JK) agar menyesuiakan harga dengan kemampaun masyarakat tetapi golongan bawah dibantu.

Indonesia dengan Sri Lanka jelas berbeda. Tetapi potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada. Dengan catatan jika stabilitas politik lebih berat. Jika harga-harga terus naik, maka rakyat akan protes keras. “Jadi, Srilanka dan Indonesia tidak sama, dan tidak bisa ditarik-tarik Indonesia akan mengalami krisis seperti Sri Lanka. Hanya, melihat krisis global sekarang dan Indonesia punya masalah berat seperti sekarang, maka potensi krisis pasti ada. Potensi akan semakin besar jika stabilitas politik tidak memadai. Segala kebijakan hendaknya tetap care terhadap krisis, kebijakan pembangunan IKN adalah contoh kebijakan yang tidak care terhadap krisis,” ungkapnya.

Keenam, sebagai tambahan dari pengemnbangan diskusi 5 masalah di atas, adalahj Kapasitas kebijakan pemerintah tidak memadai dan banyak sekali salah kaprah. “Ini masalah kepemimpinan ekonomi yang absen, yang bisa dilihat dan dari akibat buruknya kebijakan yang dihasilkan. Tidak ada lagi menteri yang punya kepemimpinan teknokratis, semua menjadi politisi rabun dekat, sehingga memperlemah kebijakan yang dihasilkan dalam kepemimpinan masalah ekonomi. Dulu masih bisa berharap kepada menteri keuangan, tetapi tidak lagi sekarang. Oleh karenanya kita ragu dalam masalah ekonomi akan bisa diselesaikan sehingga kita lepas dari krisis atau resesi di masa mendatang,” pungkas Didik.