JAKARTA,REPORTER.ID -Sebagai lembaga negara yang mengemban visi sebagai Rumah Kebangsaan, Pengawal Ideologi Pancasila dan Kedaulatan Rakyat, MPR tetap memiliki tugas yang mulia, yaitu membangun karakter bangsa melalui sosialisasi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Kami mengajak kepada kita semua agar senantiasa ber-ikhtiar untuk memberikan yang terbaik bagi negara yang kita cintai. Membangun karakter bangsa memerlukan kesabaran dan ketekunan. Bung Karno pernah berpesan: ”Kita harus sabar, tidak boleh bosan, harus ulet, terus menjalankan perjuangan, terus tahan menderita, jangan putus asa, jangan kurang tabah, jangan kurang rajin,” demikian Ketua MPR RI Bambang Soesatyo saat memperingati Hari Konstitusi di Gedung MPR RI, Senayan Jakarta, Kamis (18/8/2022).
Acara itu dihadiri oleh Wakil Presiden Prof. DR. K.H. Ma’ruf Amin, juga tampak para Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah, Ahmad Muzani, Lestari Moerdijat, Jazilul Fawaid, Syarief Hasan, Arsul Sani, Hidayat Nur Wahid, Fadel Muhammad, Sekjen MPR RI Ma’ruf Cahyono dan lain-lain.
Lebih lanjut Bamsoet – sapaan akrab Bambang Soesatyo, mengatakan pada bulan Agustus, setidaknya terdapat tiga peristiwa bersejarah penting yang kita peringati. Setelah dicengkram penjajahan selama berabad-abad, tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, dengan satu tekad menjadi bangsa yang merdeka, bangsa yang bebas menentukan nasibnya sendiri.
Peringatan hari-hari besar kenegaraan kata dia, tidak boleh dimaknai hanya sebagai kegiatan seremonial semata, melainkan menjadi tanggung jawab sejarah bagi kita, untuk meneguhkan arah cita-cita Indonesia merdeka. Dijadikan momen terbaik untuk melakukan refleksi diri, sekaligus proyeksi ke depan.
Menurutnya, melalui proses refleksi dan proyeksi ini diharapkan: Pertama, bangsa ini dapat mengenali apa kelebihan dan kekurangan kita sebagai bangsa. Pelajaran baik di masa lalu yang harus dipertahankan, dan pengalaman buruk yang harus kita tinggalkan. “Kedua, dapat mengetahui ke mana kita akan menuju. Kita harus senantiasa terbuka atas perkembangan terbaik kehidupan umat manusia, guna memperkaya mutu kemanusiaan, dan mutu peradaban kita,” ujarnya.
Bamsoet mengakui patut bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo, yang telah menunaikan tugas sejarahnya dengan baik. Tugas sejarah tersebut adalah ketika pada tanggal 1 Juni 2016 yang lalu, Presiden Joko Widodo telah menandantangani Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016, yang menetapkan tanggal 1 Juni 7 sebagai Hari lahir Pancasila. Sejak saat itulah, bangsa Indonesia dapat mengetahui dan sekaligus memperingati Hari Lahir Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi negara.
Dalam bagian ”menimbang” huruf (c), (d) dan (e), Keppres Nomor 24 Tahun 2016 tersebut, ditegaskan bahwa Pancasila, sejak kelahirannya tanggal 1 Juni 1945 melalui Pidato Bung Karno di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), dan mengalami perkembangan dalam Naskah Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan, hingga disepakati menjadi rumusan final oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, yang dimaknai sebagai suatu kesatuan proses lahirnya
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, oleh para Pendiri Bangsa.
Dasar pertimbangan historis dan yuridis yang disusun dalam Keppres tersebut, sejalan dengan kesepakatan MPR RI tentang sejarah lahirnya Pancasila, yang di-konseptualisasi-kan dalam dokumen Buku Empat Pilar MPR RI, yang menjadi materi baku dalam pelaksanaan Sosialiasi Empat Pilar MPR RI, yang dilaksanakan sejak periode kepemimpinan almarhum H.M. Taufiq Kiemas, sebagai Ketua MPR tahun 2009-2013 yang lalu, hingga saat ini.
Dengan demikian kata Bamsoet, Keputusan Presiden Joko Widodo Nomor 24 Tahun 2016 tersebut, telah melengkapi dokumen kenegaraan Keputusan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono Nomor 18 Tahun 2008, yang menetapkan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Hari Konstitusi. Atas dasar pertimbangan historis dan yuridis itulah, pada hari ini lembaga MPR RI menyelenggarakan Peringatan Hari Konstitusi setiap tanggal 18 Agustus di Gedung MPR/DPR/DPD RI ini.
Dikatakan, bahwa penetapan tema: Konstitusi Sebagai Landasan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia Pasca Pandemi, dimaksudkan untuk semakin meneguhkan arah cita-cita Indonesia merdeka, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dalam upaya mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
“Pandemi Covid-19 telah meluluh-lantakkan kesehatan, sekaligus menghantam perekonomian dunia, tidak terkecuali Indonesia. Setelah lebih dari dua tahun bergulat dengan pandemi, secara umum dunia berhasil mengatasinya secara baik. Kesehatan masyarakat berangsur pulih, dan kehidupan pun dalam batas-batas
tertentu kembali normal,” jelas Bamsoet.
Namun kata Bamsoet, geo-politik dunia yang tiba-tiba bergejolak, khususnya perang Rusia-Ukraina, semakin memperburuk perekonomian dunia. Kini, dunia mengalami krisis ekonomi, krisis pangan, dan krisis energi. Laju inflasi terus mengalami kenaikan. Lonjakan harga pangan dan energi, semakin membebani masyarakat yang baru saja bangkit dari pademi Covid-19.
Ekonomi dunia kembali terancam resesi. Dan, menurut Bamsoet, meski kondisi ekonomi Indonesia relatif stabil dan sedang memasuki fase ekspansi, namun kita tidak boleh lengah terhadap ancaman resesi global. Tiga negara dan satu kawasan, yaitu Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, India, dan Uni Eropa, yang mewakili 62,1 persen PDB dunia, sedang dilanda perlambatan pertumbuhan ekonomi dan hiper-inflasi, bahkan terancam resesi.
Setelah 77 tahun merdeka, telah banyak yang kita raih. Pada saat dunia mengalami krisis pangan, Indonesia memperoleh penghargaan dari Lembaga Penelitian Padi Internasional (International Rice Research Institute), karena berhasil melakukan swasembada beras.
Secara bertahap Indonesia pun mampu menurunkan angka kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik, persentase penduduk miskin pada bulan Maret 2022 adalah sebesar 9,54 persen, menurun 0,6 persen dibandingkan dengan bulan Maret 2021. Dari sisi jumlah penduduk miskin sebesar 26,16 juta orang, menurun 1,38 juta orang.
“Yang perlu mendapat perhatian kita bersama adalah angka kemiskinan, walaupun tren-nya menurun dalam 50 tahun terakhir, namun penurunannya sudah melandai.
Artinya, upaya penanggulangan kemiskinan sudah mencapai titik jenuh. Permasalahan penduduk miskin yang masih tersisa seperti “kerak-kerak” yang sulit untuk dihilangkan,” ungkapnya.
Hal lain yang memerlukan perhatian sungguh-sungguh adalah dari sisi percepatan kemajuan, yang masih memerlukan perbaikan. Saat kita merdeka, tingkat GNP kita jauh lebih tinggi dari Korea Selatan. Namun kali ini berbeda, tingkat percepatan kemajuan Korea Selatan yang kemerdekaannya hanya terpaut dua hari dengan Indonesia, sudah masuk kategori negara “maju“.
“Kita sering mendengar, Indonesia sulit untuk bangkit karena jumlah penduduk yang besar. Namun, ini terbantahkan dengan Tiongkok (China), yang hari ini sangat maju. Tiongkok (China) merdeka tahun 1949,” tambah Bamsoet.
Indonesia memiliki seluruh persyaratan untuk menjadi negara maju. Memiliki jumlah penduduk yang besar, sumber daya alam yang melimpah, potensi ekonomi
maritim dan kelautan yang tidak terhingga, pemandangan alam yang indah, serta letak geografis yang strategis sebagai negara kepulauan yang menjadi jalur perdagangan dunia.
Dikatakan, pada tahun 2045, penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 318,9 juta jiwa. Dengan jumlah populasi yang sangat besar dan potensi ekonomi yang mumpuni, Indonesia diproyeksikan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-empat di dunia.
“Untuk meraihnya, kita harus bangkit lebih kuat, mempertahankan warisan baik bangsa, menjadikan konstitusi sebagai landasan bagi kebangkitan ekonomi Indonesia, serta mau belajar, membuka diri, dan mengerti jalannya logika negara lain yang telah lebih cepat maju,” tutur Bamsoet.
Sistem perekonomian Indonesia yang dirancang oleh para pendiri bangsa, bukanlah sistem ekonomi kapitalis, di mana individu dan pasar menjadi dominan menentukan perilaku ekonomi. Bukan pula sistem ekonomi sosialis, di mana negara menjadi dominan sebagai pelaku ekonomi.
Sistem perekonomian kita kata Bamsoet, adalah Ekonomi Pancasila, yakni pengelolaan ekonomi negara yang bersumber pada nilai-nilai yang mengedepankan religiusitas, humanitas, nasionalitas, demokrasi, dan keadilan sosial. Sistem ekonomi Pancasila yang diwariskan pendiri bangsa, hanya bisa dijalankan secara penuh dan konsisten, bilamana Indonesia memiliki apa yang disebut Presiden Soekarno sebagai “kemampuan untuk berdiri di atas kakinya sendiri“ (berdikari).
Presiden Soekarno berpesan, bangsa Indonesia jangan mau menjadi “bangsa kuli” dan menjadi ”kuli bangsa-bangsa lain”. Presiden Jokowi dalam suatu kesempatan pernah menyampaikan, kita tidak boleh menjadi bangsa yang masih bermental ”inlander” dan bersikap ”inferior” ketika berhadapan dengan bangsa lain.
Untuk tidak menjadi “bangsa kuli” dan menjadi ”kuli bangsa-bangsa lain”, tidak bermental ”inlander” dan bersikap ”inferior”, Indonesia tidak boleh hanya dijadikan
sebagai sumber bahan baku murah oleh negara-negara industri-kapitalis. Tidak boleh hanya dijadikan sebagai “pasar“ untuk menjual produk-produk hasil industri negaranegara industri-kapitalis, serta sebagai tempat memutar kelebihan kapital dari negara-negara industri maju.
Karena itu menurut Bamsoet, kita harus mengembangkan sistem perekonomian merdeka, merdeka seratus persen, yang mampu mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. “Membangun semangat gotong royong untuk sejahtera bersama, serta penguasaan negara atas sektor-sektor penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, disertai upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan nilai tambah atas hasil bumi, laut, tambang, sehingga tidak lagi diekspor dalam bentuk mentah atau setengah jadi,” tambahnya.
Indonesia dengan potensi sumberdaya alam yang melimpah, harus mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, seperti pangan dan obat-obatan secara berdaulat.
Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal mengimpor dengan harga murah, harus segera diakhiri. Karena terperangkap dalam prinsip itu, membuat kita
kehilangan wahana meningkatkan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumberdaya kita. Tanpa usaha menanam dan memproduksi sendiri, dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami ketergantungan.
Berulang kali Presiden Jokowi menyampaikan, segala sumber daya yang ada harus dikelola dan diolah oleh bangsa Indonesia sendiri, dengan teknologi dan inovasi
yang kita kembangkan sendiri. Hanya dengan cara itu, kita dapat meningkatkan nilai tambah terhadap sumber daya yang kita miliki. Memberi kesempatan kepada banyak orang untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi, yang memungkinkan
terjadinya mobilitas sosial yang inklusif.
“Kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara yang berhasil ber-transformasi, dari negara miskin menjadi negara makmur, seperti negara-negara Asia Timur. Lokomotif kemakmuran terletak pada usahawan-inovator, yang berhasil mengembangkan inovasi-teknologi yang dapat menciptakan pasar baru.
Usahawan-inovator bisa melahirkan keuntungan berlimpah untuk diinvestasikan ulang ke dalam sektorsektor usaha baru dan lapangan kerja baru. Dengan cara itulah, kemakmuran secara inklusif dan berkelanjutan bisa
tercipta,” ungkap Bamsoet lagi.
Peringatan Hari Ulang Tahun MPR yang pelaksanaannya dimajukan, menjadi bersamaan dengan Hari Konstitusi, juga merupakan wahana untuk melakukan refleksi diri, sekaligus melakukan proyeksi ke depan.
Sebagai generasi pewaris, kita harus mampu memaknai bagaimana proses konseptualisasi MPR yang telah melintasi waktu, melalui rangkaian perjalanan yang panjang. Perubahan kedudukan, wewenang, dan tugas MPR sebagai akibat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak mengurangi kehormatan MPR.
Sebagai lembaga negara yang mengemban visi sebagai Rumah Kebangsaan, Pengawal Ideologi Pancasila dan Kedaulatan Rakyat, MPR tetap memiliki tugas yang mulia, yaitu membangun karakter bangsa melalui sosialisasi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sebagaimana telah diingatkan oleh Bung Karno, bahwa kita sekarang ini berada dalam tingkatan kedua dari revolusi, yaitu tingkatan nation and character bulding:
tingkat membina karakter bangsa.
Pada tingkatan pertama dari revolusi, yaitu tingkatan pemerdekaan, menurut Bung Karno, semua hal lebih mudah. Persoalannya hanya satu: pro atau kontra penjajahan – habis perkara. Siapa yang pro penjajahan, hantam remuk-redam dia! Siapa yang kontra penjajahan, ayo peganglah bambu runcing ini, ayo panggul-lah ini senapan!
Pada masa pemerdekaan, idealisme membumbung tinggi dan menyala-nyala. Rajawali Indonesia pada waktu itu benar-benar meng-garuda di sapta angkasa.
Situasinya amat berbeda pada masa nation and character bulding. Pada tahap ini, biasanya idealisme agak luntur, dan ego-sentrisme, aku-sentrisme, biasanya makin
tumbuh.
Tidak salah jika dikatakan, bahwa kemiskinan terparah suatu bangsa bukanlah kemiskinan sumber daya, melainkan kemiskinan jiwa, kemiskinan karakter. Ketika
warga negara hanya bisa bertanya apa yang bisa didapat dari negara, dan ketika penyelenggara negara hanya memburu kehormatan, memburu kuasa demi kuasa, tapi tidak mau memikul tanggung jawab dari kehormatannya itu, maka sehebat apa pun rumusan nilai dan filosofi kita, dan seberapa banyak pun kekayaan sumber daya yang kita miliki, tidak akan membawa kebaikan dan kesejahteraan
bagi kehidupan bersama.
Bamsoet minta bangsa ini wajib bersyukur, para pendiri bangsa telah mewariskan nilai-nilai fundamental bangsa. Lahir dan berprosesnya perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara, merupakan mercusuar tentang tingginya tingkat pemahaman, dan tingkat kebudayaan kita waktu itu. Maka, yang menjadi kewajiban kita bukan hanya memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila, melainkan harus meng-aktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila harus menjadi nyata. Rakyat Indonesia harus merasakan, bahwa dalam negara Pancasila, segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
merasa dilindungi, dan maju dalam kesejahteraan. Penghapusan kemiskinan dan jaminan kesejahteraan rakyat, harus menjadi prioritas segala pembangunan. Seluruh rakyat Indonesia harus dapat merasakan bahwa dalam negara Pancasila, mereka dapat hidup secara terhormat, sejahtera dan adil.
Untuk itu, Bamsot mengajak semua agar senantiasa ber-ikhtiar untuk memberikan yang terbaik bagi negara yang kita cintai. Membangun karakter bangsa memerlukan kesabaran dan ketekunan. Bung Karno pernah berpesan: ”kita harus sabar, tidak boleh bosan, harus ulet, terus menjalankan perjuangan, terus tahan menderita, jangan putus asa, jangan kurang
tabah, jangan kurang rajin.
“Ingat, memproklamasikan bangsa adalah gampang, tetapi menyusun negara, mempertahankan negara buat selama-lamanya itu sukar. Hanya rakyat yang ulet, rakyat yang tidak bosanan, dan rakyat yang tabah yang dapat bernegara kekal abadi. Siapa yang ingin memiliki mutiara, harus ulet menahan-nahan nafas, dan berani terjun menyelami samudera yang sedalam-dalamnya,” pungkasnya.