JAKARTA,REPORTER.ID – Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Perampasan Aser Negara (TPPAN) dinilai sangat penting, karena bertujuan untuk memaksimalkan pengembalian aset negara. Hanya saja bukan saja terkait perampasannya yang ditata, tapi soal aturan lain misalnya subsider juga harus ditata ulang. Sebab, tambahan hukuman pidana penjara (subsider) tersebut tak ada artinya jika aset negara tidak kembali.
“Jadi, tindak pidana itu harus dibenahi agar tidak bertabrakan dengan UU yang lain. Misalnya seseorang dijatuhi hukuman 5 tahun, denda Rp50 juta, dan uang pengganti Rp5 miliar, tapi tiba-tiba memilih subsider sekian tahun, sehingga kemudian tidak mempunyai kewajiban untuk membayar uang ganti rugi. Padahal, koruptor ini bisa dipailitkan,” tegas anggota Komisi III DPR RI FPPP Arsul Sani.
Hal itu disampaikan Arsul Sani yang juga Wakil Ketua MPR RI itu dalam forum legislasi “Menakar Urgensi RUU Perampasan Aset” bersama anggota Komisi III DPR Nasir Djamil (F-PKS) dan pakar hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, pada Selasa (20/9/2022).
Menurut Waketum PPP itu, lebih baik aset negara itu kembali daripada ditambah pidana penjara. Karena itu, baik pada UU Tipikor, UU Narkotika, UU Kepolisian, Kejagung dan intitusi penegak hukum yang lain harus memprioritaskan pengembalian aset negara tersebut. Apalagi terkait perampasan aset negara ini Indonesia sudah meratifikasi konvensi PBB (United Nations Convention Againts Corruption/UNCAC) tahun 2000, United Nation Convention Against Illicit Trafic In Narcotic Drugs And
Phychotropic Substance (1988), United Nation Convention on Transnational Organized Crime/UNTOC (2002), dan berbagai ketentuan yang ada dalam United Nation Counter Terrorism
Convention. .
Dikatakan, jika UU ini ada di banyak negara. Contoh kasus korupsi mantan Dirut Garuda Indonesia, Emirsyah Satar yang kerjasama dengan Bombardier Inc, Airbus S.A.S, Avions de Transport Regional (ATR), dan Rolls Royce PLC di Inggris. “Pihak Rolls Royce tidak dipenjara, tapi didenda Rp 7 triliun. Ini yang harus kita benahi. Bukan saja akibat gregetan, tapi politik hukum ini yang harus dibenahi ke depan dan tidak asal tambal sulam,” jelas Arsul Sani.
Nasir Jamil menegaskan jika UU ini merupakan bagian dari penegakan hukum. Terlebih banyak aset koruptor selama ini sulit dikembalikan ke negara, karena harus ada keputusan yang mengikat, inkrah. Hanya saja RUU ini belum masuk Prolegnas 2022. “Sepertinya pemerintah masih gamang, setengah hati. Jadi, masalahnya bukan di DPR tapi pemeirntah yang memiliki inisiatif RUU ini,” kata Nasir.
Karena itu, jika RUU ini masuk ke DPR, pihaknya mengusulkan agar nanti ada satu tempat penyimpanan aset negara hasil rampasan dari para pelaku kejahatan. “KPK dan PPATK sering mendorong RUU ini. RUU ini seperti suplemen yang hebat, punya khasiat yang tinggi untuk mengembalikan aset negara. Tapi, jangan seperti mendorong mobil mogok, agar RUU ini berdaya guna agar apa yang diharapkan negara bisa diwujudkan,” ungkapnya.
Yang pasti kata Supardji, penegakan hukum itu harus berdasarkan filosofis, sosiologis, dan yuridis. “Aset negara ini harus dikembalikan ke negara, tak boleh dinikmati oleh siapapun. Misalnya meski penjahat itu sudah meninggal atau kabur ke luar negeri, tapi asetnya harus bisa dikembalikan ke negara. Persoalannya, bagaimana penegakan hukum ini tidak menimbulkan masalah baru. Seperti pelanggaran HAM, bertindak sewenang-wenang, tidak bertentangan dengan konstitusi, dan sebagainya,” jelas dia.
Supardji menyontohkan, ada seorang penjahat mendapat sanksi hukuman mati, dan seumur hidup, tapi dia lebih memilih pengembalian aset, yaitu ganti rugi Rp110 miliar. Untuk itu, RUU ini tidak saja untuk menjerat koruptor, namun harus berdiri sendiri untuk memaksimalkan pengembalian aset negara yang telah dikorupsi tersebut.