Kepala Suku Besar Tanah Papua ?

oleh
oleh

Jenny Morin  (ist)

 

Oleh : Jenny Morin          

Member of Numberi Center

 

Dewan Adat Papua (DAP) usai menggelar Rapat Pleno ke-11 pada tanggal 9 Oktober 2022 mengukuhkan Gubernur LE sebagai Kepala Suku Besar Tanah Papua di kediaman Gubernur LE di Koya Tengah Dsitrik Muara Tami.  Ketika mengukuhkan Gubernur LE sebagai “Kepala Suku Besar Tanah Papua” hal ini berkaitan dengan adat, masyarakat adat, hukum adat dan masyarakat hukum adat. Apalagi gelar ini diberikan oleh DAP lembaga yang merepresentatif 7 (tujuh) wilayah adat di Tanah Papua. Pengukuhan ini harus sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat hukum adat yang sudah diakui dan berlaku turun temurun di masing-masing wilayah adat diseluruh Tanah Papua.

Definisi adat, hukum adat, masyarakat adat dan masyarakat hukum adat secara tegas dicantumkan dalam UU No 2 Tahun 2021 tentang perubahan atas UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Pasa 1 huruf o, huruf p, huruf q, dan huruf r sebagai berikut:

Huruf o menyebut, Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun;

Huruf p,  Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;

Huruf q, Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi;

Huruf r, Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;

Penting bagi kita untuk pahami bahwa Tanah Papua adalah wilayah yang didiami oleh masyarakat adat terbagi menjadi 7 wilayah adat atau budaya dan terdiri dari 254 suku yakni sebagai berikut : Mamta/Tabi sebanyak 87 Suku, Saireri 37 Suku, Bomberai 19 suku, Domberai 52 suku, Ha-anim 29 suku, Mee-pago 11 suku, Lapago 19 suku.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kepala Suku didefinisikan sebagai orang yang menjadi pemimpin (raja) suatu suku. Hal ini sejalan dengan kamus besar Bahasa Belanda yang disusun oleh Susi Moeimam dan Hein Steinhauer yang menggunakan kata “Stamhoofd” yaitu kepala suku. Tidak ada yang menulis kepala suku besar di Tanah Papua. Sejak dulu setiap suku di Tanah Papua memiliki kepala suku yang dipilih dari suku mereka sendiri sesuai dengan cara dan aturan adatnya.

G.J. Held mengatakan, “Stamhoofd is de man van hun eigen groep, van hun eigen stam” – Kepala suku adalah orang dari grup mereka atau suku mereka sendiri.” (De Papoea Cultuurimprovisator, ’s-Gravenhage, 1951:hal.16)

G.J. Held juga menjelaskan hasil penelitiannya tentang keret/marga tertua yang dikenal di Numfor pada Tahun 1814, yaitu Anggradifu, Rumberpon, Rumansara dan Rumberpur dari masing-masing marga/keret memiliki kepalanya sendiri. Dari penelitian DR. G.J. Held terhadap suku Byak diwilayah adat Saereri, menunjukan bahwa setiap suku Byak memiliki kepala marga/keret yang nantinya dipilih untuk menjadi kepala suku Byak atau Mananwir Beba Byak.

Pemilihan Mananwir Beba Byak dilakukan melalui tahapan sidang pleno oleh Majelis Kankain Karkara Byak/Dewan Adat Byak. Di wililayah Raja Ampat yang dipakai dibawah Kesultanan Tidore adalah Raja atau Sangaji, kapitein laut, kapitein, Majoor dan lainnya yang ditunjuk langsung oleh Sultan Tidore karena bekerjasama dengan Sultan.  Contoh lainnya adalah di pedalaman Papua dari hasil penelitian Dr. J.V. de Bruijn mengatakan, “De clans Zonggonau en Koberau die hier wonen, behoren to de grote Migani stam.” – Keret/Marga Zonngonau dan Koberan yang di sini ada bagian dari suku besar Migani. (Het Verdwenen Volk, Bussem, 1978: Hal.60)

Dari apa yang dikatakan Dr. J.V de Bruijn dalam bukunya dapat kita lihat bahwa baik dipedalaman Papua setiap suku memiliki marga atau keretnya masing-masing.  Hal ini dijelaskan juga oleh Drs. H. Eggink sebagai berikut :

Pertama, Clan atau Marga/ Keret adalah kelompok yang bersatu karena satu marga secara turun temurun.  Keret/ Marga di Raja Ampat  disebut Djilet, Biak Numfor menyebut Keret, Marind (Merauke) menyebutnya Boan, di Nimboran disebut Tang, dll.

Kedua, di samping itu ada Kepala Kampung (Dorphoofden) dan Kepala Marga/Keret.

Ketiga, Kepala Adat hanya dikenal di Holandia (Jayapura), Sentani, Tanah Merah dan Teluk Cendrawasih.

Keempat, di Bagian Barat Pulau Papua (Nieuw Guinea) Kepala Suku dikenal dengan istilah Raja, yaitu kelompok yang ada di Misool, Waigeo, Salawati dan Waigama. Di Fak-fak antara lain, Raja Rumbati, Raja Patipi, Raja Fatagar, Raja Arguni dan Raja Kaimana. (De Aardrijkskunde van Nieuw Guinea, J.B. Wolters, Graningen,1956:hal.21)

Dengan demikian masyarakat yang berada di 7 wilayah adat, memiliki kekhasan sendiri dan yang ada hanya Kepala Adat, Kepala Suku atau sebutan Raja. Tidak ada Kepala Suku Besar yang mewakili mereka. Apa yang dijelaskan oleh Drs. H. Eggink senada dengan penjelasan dari Sekjen Dewan Adat Papua (DAP) Leonard Imbiri bahwa:

Dalam status, Pedoman Dasar dan Pedoman Operasional DAP tidak dikenal istilah Kepala Suku Besar atau Kepala Suku Besar Bangsa Papua. Karena Kepala Suku ada di tingkat suku;

DAP hanya mengenal dua hal yakni, Pertama, istilah Ketua Dewan Adat Papua atau Pimpinan Dewan Adat Papua untuk tingkat Tanah Papua. Status DAP menyatakan bahwa otoritas DAP ada di Kepala Suku dan diatas Kepala Suku hanya ada Tuhan. Kepala Suku atau Kepala Marga itu setara jadi tidak ada kepala suku diatas kepala suku yang lain.

Kedua, istilah pengukuhan hanya dipakai dalam jabatan suku atau marga yang berlangsung turun temurun dan itu dilakukan dalam setiap suku atau marga menurut aturan dan tata cara masing-masing.

Setiap suku di Tanah Papua memilih Kepala Sukunya dan Kepala-Kepala suku yang telah dipilih mewakili sukunya kemudian membentuk Dewan Adat Daerah sesuai wilayah adatnya. Kemudian Dewan Adat daerah membentuk Dewan  Adat Papua (DAP)  sebagai pusat organisasi atau lembaga adat yang mewakili kepala-kepala suku  dari 7 (tujuh) wilayah adat di Tanah Papua.

DAP didirikan pada tanggal 8 Februai 2002 dengan tugas dan tanggungjawab  untuk melindungi hak-hak Orang Asli Papua (OAP) tanpa masuk dalam ranah politik praktis. (Penulis adalah pengamat sosial politik tinggal di Jakarta)

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id