Freddy Numberi
Oleh : Ambassador Freddy Numberi
Founder Numberi Center
Presiden RI Pertama Bung Karno pada saat berkunjung ke Irian Barat (Papua) di Kota Baru 4-6 Mei 1963 dan diberi gelar “Maha Putera Irian Barat”, mengatakan, “Saya akan jadikan Orang Irian tuan di tanahnya sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (Freddy Numberi, “Quo Vadis Papua, Jakarta”, 2013:hal.XXX).
Demikian juga pesan Sekretaris Jendral PBB U Thant yang dibacakan oleh C.V. Narasimham mewakili Sekjen PBB mengatakan, “………Saya yakin bahwa Republik Indonesia akan menepati dengan seksama syarat-syarat Perjanjian yang dibuat pada 15 Agustus 1962 dan menjamin pelaksanaan hak-hak rakyat wilayah ini menyatakan keinginan-keinginan mereka akan hari depannya.” (Departemen Penerangan RI, 1964:hal.19).
Menteri Luar Negeri RI DR.Subandrio dalam pidatonya menyatakan, ”Kami sendiri, Pemerintah Indonesia, Rakyat Indonesia, termasuk rakyat penduduk Irian Barat bertekad untuk dalam waktu cepat merintis jalan ke arah peningkatan derajat penghidupan rakyat Irian Barat sejajar dengan saudara-saudaranya di daerah-daerah lain di Indonesia.” (Departemen Penerangan RI, 1963:hal.23).
Pada tanggal 19 Desember 1963, Presiden Soekarno berpidato yang ditujukan kepada saudara-saudara yang bekerja di Irian Barat dan yang bekerja langsung untuk Irian Barat, “……….bersama-sama membuat Irian Barat itu satu zamrud yang indah dalam Sabuk Indonesia yang melingkari Katulistiwa, – Indonesia, die zich daar slingert om den evenaar als een gordel van smaragd!” (Departemen Penerangan RI, 1963:hal.151).
Pidato-pidato tersebut di atas dan keinginan Sukarno untuk membuat Irian Barat (Papua), satu zamrud yang indah dalam Sabuk Indonesia yang melingkari Katulistiwa ini belum tercapai, karena setelah 59 tahun kembali ke Indonesia, banyak yang diraih di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, tetapi juga banyak yang belum bisa dicapai.
Otonomi Khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat belum membuahkan hasil yang memadai, meskipun dana Otsus cukup besar. Masih ada kemiskinan, kesehatan buruk dan pendidikan tidak memadai dari SD sampai SMA karena tidak ada uang. Aliran dana Otsus cukup besar namun masyarakatnya tidak menikmati hasilnya. Sebaliknya, dana Otsus banyak ditenggarai dikorupsi.
Dari hasil evaluasi UU Nomor 21 Tahun 2001 diketahui bahwa Pemerintah Pusat “setengah hati” dalam memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Dalam pasal 4 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001 berbunyi, ‘’Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, agama dan pendidikan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Frasa ‘kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan’, menjadikan semuanya itu berubah.
Tambahan frasa inilah merupakan bukti bahwa pemerintah Jakarta “setengah hati” dalam memberikan Otsus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Hal itu disebabkan, dengan adanya frasa ini, maka pemerintah Jakarta bisa keluar dan menambah dari 6 (enam) kewenangan yang sudah disebutkan di atas, serta mereduksi kewenangan pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Sebagai pembanding mari kita lihat UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Untuk mengakomodasi permintaan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) untuk merdeka, pemerintah RI telah membuat UU 11/2006 tentang Pemerintah Aceh, terlihat pada Bab IV Kewenangan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota sebagai berikut : Pasal 7 :
- Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah.
- Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat(1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Dari bunyi pasal 7 UU 11/2006 tentang Provinsi Aceh sangat jelas terlihat bahwa semua kewenangan untuk menjalankan roda pemerintahan ada di tangan Pemerintah Provinsi Aceh. Pemerintah Jakarta hanya memiliki 6 (enam) kewenangan saja yaitu kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Jadi sangat jelas untuk Aceh pemerintah Jakarta hanya memiliki 6 (enam) kewenangan saja. Selain 6 (enam) kewenangan itu adalah kewenangan pemerintah Aceh. Hal ini berbeda dengan UU 21/2001 tentang Otsus Papua dan Otsus Papua Barat. Kewenangan pemerintah Jakarta, selain kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama (sama seperti di Aceh), namun masih ada kewenangan tertentu lainnya yang akan diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Hal ini berarti bahwa kewenangan pemerintah Jakarta masih bisa ‘keluar’ dari 6(enam) kewenangan yang disebut di atas. Jadi ada kesan ‘setengah hati’ dalam memberikan Otsus kepada Provinsi Papua dan Papua Barat. Itulah sebabnya ada pihak-pihak yang menyatakan kegagalan Otsus Papua dan Papua Barat karena campur tangan pemerintah Jakarta.
“Bila Pemerintah Nasional Bersama rakyat Indonesia termasuk masyarakat di Tanah Papua, ingin menjadikan Otonomi Khusus sesuai Undang-Undang No.2 Tahun 2021 sebagai suatu “succes story”, maka frasa “kewenangan lain yang akan diatur dengan peraturan perundang-undangan “harus dihapus pada Pasal 4 ayat (1)”. (Freddy Numberi, “Papua Kerikil Dalam Sepatu”, 2022:hal.258).
Dengan demikian apa yang diharapkan oleh Sang Proklamator Presiden Sukarno, yaitu Tanah Papua satu zamrud yang indah melingkari Katulistiwa di Nusantara tercinta dapat dicapai. Semoga !!! (Penulis adalah Laksamana Madya TNI (Purn), mantan Menhub, mantan MENPAN-RB, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, mantan Dubes Italia dan Malta, mantan Gubernur Papua).