JAKARTA,REPORTER.ID – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta kehadiran Bank Tanah harus menjadi solusi terbaik bagi persoalan tanah, tanah adat, agraria di masyarakat, dan bukan sebaliknya. Dimana masih banyak tanah rakyat yang dikuasai, digusur, dirampas, dibeli dengan ganti rugi yang tidak memadai serta banyak investasi asing yang masuk dengan menguasai tanah, tapi tidak untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat, khususnya di wilayah sekitar.
“Tanah dengan sumber daya alam (SDA) nya sebagai amanat konstitusi adalah harus dikuasasi oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Karena itu, Bank Tanah ini harus menjadi solusi bagi rakyat termasuk bagi tanah adat, sehingga pembentukan Bank Tanah ini harus disosialisasikan dengan baik agar tidak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat,” tegas Bamsoet.
Hal itu disampaikan Bamsoet dalam Forum Group Discussion (FGD) MPR RI dengan Brain Society Center (BSC) di Gedung MPR RI, Senayan Jakarta, Kamis (30/11/2022), dengan tema: Kebijakan Bank Tanah Dalam Perspektif Konsep dan Implementasi untuk Mewujudkan Keadilan Sosial Berdasarkan UU NRI 1945.
Hadir sebagai pembicara antara lain: Guru Besar Hukum Agraria, Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Maria SW. Sumardjono, Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor, Prof. Dr. Endriatmo Sutarto, Ketua Dewan Pakar Brain Society Center (BSC), yang juga Moderator diskusi, Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, dan Dirjen Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Embun Sari.
Lebih lanjut Bamsoet mengatakan jika sampai saat ini banyak tanah yang dikuasai segelintir orang, sehingga banyak pula rakyat yang tidak memiliki sejengkal tanah pun meski di negerinya sendiri. “Kepemilikan tanah ini terus menyusut, sementara jumlah rakyat akan terus bertambah. Di tahun 2010 hingga 2020 saja sudah terdapat 275 juta jiwa, PBB memproyeksikan tahun 2030 jumlah penduduk Indonesia mencapai 295 juta jiwa, dan BPS pada tahun 2035 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 300,57 juta jiwa,” ujarnya.
Itu artinya menurut Bamsoet kebutuhan akan tanah akan semakin besar. Baik untuk pemukiman, perumahan, pertanian, industri dan sebagainya. Karena itu, meski pembentukan Bank Tanah ini masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, namun keberadaan Bank Tanah ini diperlukan untuk kepentingan umum, ekonomi dan kemakmuran rakyat. Sedangkan bagi yang kontra dikhawatirkan hanya akan mubadzir terkait tumpang-tindih tugas pokok dan fungsi Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) juga brpotensi akan disalahgunakan untuk melegitimasi tanah adat yang belum mempunyai legitimasi hukum dari Kementerian Agraria.
Bamsoet menyontohkan di tahun 2021 saja ada 13 kasus perampasan tanah adat yang berdampak kepada 200.000-an jiwa, tahun 2020 ada 240 kasus lebih dan berdampak pada 369-an korban jiwa, dan masih banyak lagi. Bank Tanah ini juga dicurigai sebagai agen asing untuk liberalisasi tanah di Indonesia dan sebagainya.
Padahal TAP MPR RI No.21 tahun 2003 terkait pembaruan agraria tetap berlaku dan agar mengoptimalkan tanah dan isinya untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Di Sulewesi Selatan, investasi asing menguasai 200 ribuan hektar tanah dan negara telah memberi konsesi untuk memanfaatkan nikel itu untuk kepentingan negara, namun selama 58 tahun baru 6 persen yang dikerjakan dan hasilnya bukan untuk kepentingan masyarakat sekitar. “Yang terjadi sebaliknya, ada 2 juta kemiskinan kronis dengan penghasilan Rp600.000/bulan,” pungkasnya.