PENGARUH KEKUASAAN DAN OPERASI MILITER DI PAPUA

oleh
oleh

Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi (net)

Oleh : Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi

Operasi militer membutuhkan imajinasi, inisiatif dan tekad sehingga operasi militer tidak bisa direncanakan oleh birokrasi pemerintahan yang ada. Operasi militer menuntut talenta dan kebajikan dari para pemimpin militer dan moral tinggi bagi sang prajurit serta kemauan menang merupakan faktor penentu dewasa ini. Secara prinsip, operasi militer melibatkan para prajurit yang berdisiplin tinggi serta berdedikasi untuk negaranya. Makna sejati setiap operasi militer adalah menghancurkan kemampuan bertarung musuh, bukan rakyat yang tidak berdosa, maupun mereka yang dicurigai sebagai mata-mata. Sehingga butuh kepemimpinan militer yang mampu merencanakan pertempuran yang menentukan. Menurut Clausewitz, “Perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain”

Karena itu para prajurit TNI adalah abdi negara, mereka berusaha merealisasikan tujuan politik negara tetapi dengan cara khusus mengikuti logika militer itu sendiri. Bagi kelompok yang menolak sebuah negara berdaulat dan ingin memisahkan diri dari negara induknya, intervensi yang bagaimana dalam konflik seperti itu oleh PBB?

Apakah Indonesia akan dikucilkan karena melanggar hak asasi manusia warganya di Papua sama seperti Bosnia, Kosovo maupun Timor Timur? Bahayanya disini ialah melancarkan perang baru dalam bentuk intervensi kemanusiaan.

Paham baru telah melahirkan literatur baru, kebanyakan berasal dari paham radikal dan pandangan lain yang melihat Bosnia dan Kosovo serta Timor Timur sebagai contoh jalur adil “Intervensi Militer”. Ada 3 faktor yang ikut berpengaruh:

  1. Para pemimpin politik di masa lalu menggunakan suatu politik yang mengadudombakan masyarakat setempat. Bukan membangkitkan semangat nasionalisme, justru menjalankan politik yang buas dan aneh untuk mempertahankan kedudukanya dan menguras kekayaan bagi kepentingan sendiri atau kelompok;
  2. Kekerasan yang didesentralisasi ditujukan untuk menghancurkan bangsanya sendiri;
  3. Negara gagal dalam melindungi warganya terutama di Papua, sehingga ekonomi masyarakat Papua tidak bisa berkembang karena dijarah para elit politiknya. Tidak mudah membangun rasa nasionalisme di antara OAP karena faktor-faktor tersebut di atas.

 

Bagaimana sikap pemerintah terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM) ini?                                         Apakah penegakan hukum yang di kedepankan, sehingga sebutannya menjadi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) ataukah menjadi Teroris karena pemerintah ingin telusuri siapa saja yang terlibat dan darimana uangnya? Konflik bersenjata diatur dalam Undang-Undang nomor 59 Tahun 1958 tentang Konvensi Jenewa 1949 (Hukum Humaniter) sehingga kita tidak usah mencari lagi nomenklatur yang lain, karena kelompok yang ingin memisahkan diri dari negara induknya sehingga mereka mengangkat senjata melawan negara yang sah dan berdaulat.

 

Sudah 60 tahun kelompok OPM ini melawan pemerintah RI sejak 1 Mei 1963, selama 60 tahun ini masyarakat bertanya: “Kok Papua tidak selesai juga, ada apa kiranya dan apakah ada kepentingan yang lain, sehingga berlarut-larut memakan waktu selama 60 tahun?” Banyak korban yang sudah berjatuhan baik di pihak pemerintah maupun pihak masyrakat Papua.

 

Dalam Konvensi Jenewa 1949 (Hukum Humaniter) membagi dua, yaitu :

  • Protokol Tambahan I tahun 1977 berlaku untuk Konflik bersenjata Internasional.
  • Protokol Tambahan II tahun 1977 berlaku untuk Konflik Bersenjata Non-Internasional atau Konflik Bersenjata Internal.

Pasal 1, ayat (1) Protokol II Konvensi Jenewa 1949 mengatur tentang Konflik Bersenjata Internal di Wilayah suatu Negara, dan nomenklatur yang diberikan kelompok yang ingin memisahkan diri ini adalah Pasukan Pembangkang Bersenjata. (Dissident Armed Forces). Contoh di Aceh adalah GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan di Papua adalah OPM (Organisasi Papua Merdeka).

Konflik bersenjata internal merupakan Konflik Bersenjata yang melibatkan Angkatan Bersenjata (militer) suatu negara melawan Pasukan Pembangkang Bersenjata dalam suatu negara, dalam hal ini NKRI.

Namun Pasal 1, ayat (1) Protokol II Konvensi Jenewa 1949 juga menjelaskan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi Dissident Armed Forces tersebut, yaitu:

  • Memiliki suatu hirarki komando yang jelas;
  • Mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pengawasannya terhadap wilayah tertentu;
  • Dapat melakukan operasi militer secara terus menerus dan bersama-sama;
  • Melaksanakan ketentuan dalam Protokol Konvensi Jenewa 1949.

Pertanyaan selanjutnya, apakah OPM memenuhi syarat sebagai Dissident Armed Forces?

Sebagai negara anggota PBB, pemerintah Indonesia mempunyai dasar untuk bertindak yang jelas, yaitu:

  • Sengketa bersenjata non internasional (internal) sesuai Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, Protokol II 1977;
  • Terjadi di wilayah suatu negara;
  • Tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri dari negara induk;
  • Perlawanan terhadap pemerintah induk yang sah bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum secara universal.

Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Protokol II Konvensi Jenewa 1949 jelas mengatur tentang:

“Apabila Pasukan Pembangkang Bersenjata (Dissident Armed Forces) atau kelompok bersenjata lainnya yang terorganisir (other organized armed groups) yang melakukan perlawanan bersenjata terhadap pasukan resmi pemerintah”.

Pemerintah RI harus mengumumkan dan menetapkan OPM sebagai Pasukan Pembangkang Bersenjata (Dissident Armed Forces), sehingga operasi militer dapat dilaksanakan sesuai hukum internasional dalam rangka mempertahankan keutuhan wilayah NKRI. [Resolusi MU PBB nomor 2625 (XXV) tahun 1970 dan UU nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara].

Harus dalam koridor hukum yang ada sesuai Hukum HAM (UU nomor 26 Tahun 2000) dan Hukum Humaniter (UU nomor 59 Tahun 1958) dan harus memperhatikan tidak adanya Dampak Ikutan (Collateral Damage) berupa salah tangkap, salah interogasi, salah tembak, pemerkosaan, pembakaran kampung/desa dan lain-lain karena masuk dalam rumpun pelanggaran HAM (Piagam PBB, pasal 2 ayat (4) maupun UU nomor 39 pasal 4 Tahun 1999 tentang HAM).

Professor Thoby Mutis (Rektor Universitas Trisakti), mengatakan: ”Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna”. (Penulis adalah mantan tokoh militer dan seorang politikus Indonesia. Mantan Menteri Perhubungan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, mantan Menpan-RB, mantan Dubes Indonesia untuk Italia dan Malta, mantan Gubernur Papua, dan Pendiri Number Center).

 

 

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id