PRAHARA DI TANAH PAPUA

oleh
oleh

Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi

 

Oleh : Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi

Pengamat Politik

 

Pesan Presiden RI pertama Soekarno kepada anaknya Megawati “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” (Zulfa Simatur, Jakarta 2013 : hal. 135). Demikian juga Wakil Presiden RI pertama Mohammad Hatta, mengatakan : “Jatuh bangunnya negara ini sangat tergantung dari bangsa ini sendiri” (Ir. Simon Felix Sembiring Ph.d, Gatra Pustaka, Jakarta. 2009 : hal XI)

Pernyataan kedua Founding Fathers RI sangat terasa setelah reformasi 1998 dimana terjadi euforia demokrasi di seluruh Indonesia termasuk di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat). Apalagi setelah reformasi terjadi banyak kasus korupsi yang melibatkan oknum pejabat. Bangsa ini seolah-olah lumpuh menghadapi bangsanya sendiri, karena masalah korupsi ini terjadi dimana-mana baik di pusat maupun daerah. Bangsa ini terjangkit penyakit AIDS (Angkuh, Iri, Dendam, Serakah), sehingga membuat pemerintah kalang kabut menghadapi oknum-oknum pejabatnya sendiri.

Tanah Papua dengan adanya dana Otonomi Khusus (Otsus) sesuai UU No. 21 Tahun 2001 memang banyak menimbulkan gejolak tersendiri di masyarakatnya, karena ada banyak uang namun Orang Asli Papua (OAP) tetap miskin. Padahal undang-undang Otsus merupakan hasil kompromi politik masyarakat Papua dengan pemerintah pusat untuk menyelesaikan konflik multi dimensi yang berkepanjangan sejak tahun 1963.

Demikian juga Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 2 Tahun 2021 sebagai kelanjutan dari UU Otsus nomor 21 Tahun 2001 masih tidak sesuai ruh desentralisasi yang bijak dan benar. Faktanya dapat kita lihat pada Bab-IV masalah kewenangan, baik pada UU OTSUS nomor 21 Tahun 2001 maupun pada UU OTSUS nomor 2 Tahun 2021, tidak ada kemauan politik dari pemerintah Nasional untuk mengubah atau mengamandir frasa kewenangan ini. Frasa kewenangan masih saja tertulis :

“……serta kewenangan lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Frasa kewenangan yang tertulis pada Pasal 4 ayat (1) UU OTSUS nomor 2 Tahun 2021, bertentangan dengan UUD 1945 Perubahan-II, tanggal 18 Agustus 2000 Pasal 18 B ayat (1) dan (2), oleh karena itu harus diamandir oleh pemerintah Nasional dan DPR RI. Sehingga apa yang ditargetkan Presiden Jokowi agar OAP lebih sejahtera dan ekonomi kerakyatan sesuai lokalitas masyarakat pada 7 (tujuh) Wilayah Budaya di Tanah Papua tidak bisa berkembang dengan baik.

Hal itu sejalan dengan Resolusi PBB nomor 2504 (XXIV), tanggal 19 November 1969, dimana dalam butir Memperhatikan dinyatakan bahwa : “Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan rencana pembangunan nasionalnya, memberikan perhatian khusus pada kemajuan Irian Barat, dengan mengingat kondisi spesifik penduduknya…..”.

Dengan catatan pada butir Memperhatikan ini,  akhirnya 84 negara menyetujui Resolusi PBB nomor 2504 (XXIV), tanggal 19 November 1969, 30 negara abstain dan 12 negara anggota PBB tidak hadir pada saat sidang Umum PBB ke-24 tersebut. Sesuai hukum internasional uti possidetis juris, Papua adalah sah bagian dari pada Republik Indonesia. (Freddy Numberi, Papua Kerikil Dalam Sepatu, Jakarta, 2022 : hal.168).

Jacques Bertrand, menyatakan : “ The Consulation of Act of Free Choice were accepted of the United Nations, and West-Irian became a part of Indonesia”

(Jacques Bertrand, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, Cambridge University Press, 2004 : hal.148).

Letnan Jendral Marinir Kahpi Suriadireja dalam wawancara dengan Dewi Fortuna Anwar, mengatakan bahwa ada 6(enam) faktor yang membuat OAP tidak puas terhadap pemerintah Indonesia, yaitu:

  1. Dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, pembangunan Irian Jaya terabaikan.
  2. Sumberdaya alam belum dimanfaatkan untuk membangun provinsi itu.
  3. Orang Irian akan selalu didominasi secara ekonomi oleh orang non-Irian.
  4. Aparat pemerintah, non-Irian dan pendatang memandang rendah penduduk asli Irian-Jaya sebagai warga negara kelas dua.
  5. Transmigran telah menerima kesepakatan yang lebih baik daripada orang lokal Irian.
  6. Kurangnya kesempatan kerja bagi orang Irian diakibatkan oleh kurangnya ketrampilan atau prasyarat-administrasi. (Dewi Fortuna Anwar dkk, VIOLENT INTERNAL CONFLICTS IN ASIA PACIFIC, Jakarta, 2005:hal.224-225)

 

Apa yang dikatakan Letnan Jendral Marinir Kahpi Suriadireja, masih terasa sampai saat ini di bumi Cendrawasih. Untuk itu Pemerintah Nasional harus benar-benar melaksankan UU OTSUS Nomor 2 Tahun 2021 dengan bijak dan  benar, agar Orang Asli Papua diberdayakan dengan baik di Pemerintahan di daerah, maupun di Legislatif/DPRD maupun Kota dan Kabupaten.

 

Jangan ada lagi di Legislatif/DPRD yang isinya hanya 5 orang Asli Papua, yang lainnya adalah pendatang.  Demikian juga di bidang Pemerintahan baik di Provinsi maupun Kabupaten dan Kota, harus 90% OAP dan 10% adalah pendatang. Dengan demikian rasa memiliki Indonesia secara otomatis lahir, karena OAP merasa diperhatikan dan disejahterakan oleh Indonesia. Menjadi Indonesia harus memiliki makna bagi Orang Asli Papua.

Di samping itu Pemerintah Nasional harus merumuskan Filosofi Pembangunan secara universal dan Sifat Pembangunan dengan baik sesuai lokalitas masyarakat OAP sesuai karakteristik lokal pada 7(tujuh) Wilayah Budaya yang ada di Tanah Papua. OAP menganggap bahwa OTSUS gagal karena :

  1. Lemahnya Pemerintah Nasional dalam pelaksaan pasal-pasal tertentu dari UU Otsus tersebut.
  2. Kegagalan yang lebih luas dalam mendorong kebenaran pertanggung jawaban dan keadilan pada tingkat nasional.
  3. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa juga tidak dapat dicapai sebagai hasil dari buah reformasi 1998.
  4. Lemahnya pengawasan Nasional khusus terhadap jalannya roda pemerintahan di kedua provinsi tersebut.
  5. UU OTSUS No.21 Tahun 2001 Pasal 28(Partai Politik),Pasal 45 dan Pasal 46(HAM) tidak berjalan sama sekali.
  6. Adanya Frasa kewenangan yang tidak sesuai dengah ruh desentralisasi pada UU OTSUS No.2 Tahun 2021 dan bertentangan dengan UUD 1945, Perubahan ke-II, tanggal 18 Agustus 2000 pada Pasal 18B ayat(1) dan (2).

 

Dennis C. Blair dan David L. Philips mengatakan: “Implementasi kewenangan penuh  UU Otonomi Khusus akan menjadi siatuasi terbaik bagi kedua belah pihak”, dimana rakyat Papua akan melihat bahwa Otonomi Khusus adalah tentang demokratisasi, bukan mekanisme untuk menutup konsep merdeka mereka”. (Indonesia Commission: Peace and Progress in Papua, New York, 2003:hal.1.)

Jangan hanya menebar “angin ribut” di Tanah Papua, tetapi harus mencari solusi jangka panjang untuk mengubah Memoria Passionis (ingatan penderitaan masa lalu) menjadi Memoria Felicitas (ingatan kebahagiaan) sebagai bagian dari NKRI dan OAP mencintai Indonesia.

Profesor Thoby Mutis (Rektor Universitas Trisakti), mengatakan : “Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna.” (Freddy Numberi, Papua Kerikil Dalam Sepatu, Jakarta, 2022:hal.179). (Penulis adalah mantan Dubes Italia dan Malta, mantan Menteri Perhubungan, mantan Menteri PAN-RB, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, pendiri Numberi Center).

 

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id