DEFISIT DEMOKRASI DI TANAH PAPUA

oleh
oleh

Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi (net)

 

Oleh : Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi

Mantan Dubes RI untuk Italia dan Malta

 

Pendahuluan

Globalisasi dewasa ini membawa beberapa pengaruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Tatanan kehidupan baru di Indonesia sangat dipengaruhi oleh komunikasi masyarakat di seluruh dunia mengubah dinamika ekonomi dan politik yang ada maupun batas-batas negara menjadi hilang. Ini terjadi karena dukungan dari beberapa faktor antara lain perkembangan teknologi yang pesat, transportasi, ilmu pengetahuan, telekomunikasi dan sangat berpengaruh pada berbagai kehidupan dalam komunitas Orang Asli Papua (OAP). Harapan OAP dalam alam demokrasi dewasa ini, reformasi yang digulirkan sejak 1998 akan mendorong perubahan tata nilai dan sikap serta berkembangnya kehidupan ekonomi dan politik yang lebih baik bagi masyarakat OAP dalam naungan NKRI. Namun harapan itu “pupus”, setelah reformasi kehidupan ekonomi dan politik tidak menjadi lebih baik malah menjadi buruk dan merupakan “lingkaran setan (vicous circle)” karena dikendalikan oleh oknum-oknum dalam kelompok tertentu dalam sistim pemerintahan yang ada.

 

“Pembajakan” Demokrasi di Tanah Papua

Meskipun pemimpin sipil secara berkala menggantikan kepemimpinan masa lalu yang otoriter dan memunculkan sitem organisasi yang demokratis, namun hal itu juga gagal.

Harusnya ada redefinisi peran negara tentang perubahan transformasi kekuasaan yang terjadi bila Indonesia mau menyebut dirinya negara demokrasi dan harus didukung dengan undang-undang pada tataran implementasi dengan bijak dan benar.

Menguatnya kelompok oligarki yang menggurita dalam ekonomi pasti menciptakan kemiskinan dan ketimpangan dalam skala luas, apalagi di Tanah Papua yang kaya raya utamanya dalam hasil tambang (emas, perak, tembaga, dll), sangat dirasakan dampaknya oleh komunitas lokal OAP setempat.

Pertanyaan kita sebagai warga negara Indonesia : ”Bagaimana bisa OAP mencintai Indonesia, manakala kita perlakukan OAP masih miskin dan tidak berdaya melihat tanahnya yang kaya raya “dirampok” kelompok tertentu yang menguasai ekonomi dalam skala luas???”

Robert Dahl mengatakan :”Kapitalisme modern cenderung menciptakan ketimpangan dalam sumberdaya sosial dan ekonomi yang sangat besar dan menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap persamaan politik dan karena itu menciderai demokrasi”. (Prof.Drs. Budi Winarno, M.A.,PhD, Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta, 2014:hal.118)

Tanah Papua butuh suatu visi demokrasi oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang juga menjamin hak-hak politik maupun hak-hak ekonomi komunitas Orang Asli Papua sebagai warga negara Indonesia.

Robert Jackson dan Georg Sorenson, mengatakan :”Democracy encourage peacefull relations because democratic goverments are controlled by their citizens who will not support any kind abuse of power….. Demokrasi mendorong hubungan yang damai karena pemerintahan yang demokratis dikendalikan oleh warganya yang tidak akan mendukung penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk apapun” (dimodifikasi dari Robert Jackson dan Georg Sorenson, International Relations, Oxford University Press United Kingdom, 2013:hal.115)

Keberhasilan globalisasi di antaranya meluasnya perasaan dan kesadaran komunitas lokal di Tanah Papua mengenai banyak persoalan kemanusiaan di bumi Cendrawasih. Termasuk di dalamnya akan bahaya degradasi lingkungan akibat penambangan yang meluas dan tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh undang-undang Republik Indonesia. Contoh konkrit adalah PT. Freeport Indonesia di Timika dan British Petrolium di Bintuni yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan, akibat ekploitasi sumber daya alam tanpa batas.

Sentimen yang muncul diantara komunitas OAP, dimana tanah ulayatnya dikuasai melalui kekerasan demi investasi negara asing dan OAP jadi “pengemis” di tanahnya sendiri. Negara harus sadar dan mencari solusi jangka pendek, sedang maupun jangka panjang sebagai respon untuk menyelamatkan komunitas OAP agar lebih sejahtera, adil dan damai serta mencintai Indonesia.

 

Penutup

Nasionalisme komunitas OAP tidak muncul begitu saja tanpa proses evolusi makna (evolutionem significatio) bagi OAP untuk lebih memberikan semangat kebangsaan Indonesia di seluruh Tanah Papua.

Harus ada suatu gerakan ideologis untuk mempertahankan otonomi khusus, kesatuan dan identitas OAP sebagai warga negara Indonesia agar OAP bisa mencintai Indonesia.

Nasionalisme Indonesia harus didefinisikan sebagai  kesadaran untuk membela kebenaran bangsanya melawan “oligarki” yang menggurita di Nusantara.

Dengan adanya defisit demokrasi di Indonesia, khususnya di Tanah Papua, menyebabkan banyak yang miskin dan ekonomi kerakyatan OAP tidak bertumbuh sama sekali. Tidak ada proteksi dan aksi afirmasi oleh pemerintah sehingga OAP merasa ditelantarkan.

Menurut Noam Chomsky: “Democracy is acceptable if and only if it is consistent with strategic and economic interest..… Demokrasi dapat diterima jika dan hanya jika itu konsisten, dengan kepentingan strategis dan ekonomi.”  (Noam Chomsky, Failed States, The Abuse of Power And The Assault On Democracy, Penguin Group, London, 2006:hal.251)

Nasionalisme Indonesia bagi OAP merupakan realisasi dari asas demokrasi dalam semua bidang kehidupan dan berakar pada prinsip pencerahan (enlightenment), maka negara sebagai representasi masyarakat OAP harus berupaya mewujudkannya dalam tatanan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Prof. Thoby Muthis, mengatakan : ”Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna.” (Freddy Numberi, Papua Kerikil Dalam Sepatu, Jakarta, 022:hal.179). (Penulis adalah mantan Menhub, mantan Menpan-RB, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, mantan Dubes RI untuk Italia dan Malta, mantan Gubernur Papua, pendiri Numberi Center)

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id