JAKARTA,REPORTER.ID – Pembahasan RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang salah satu pasalnya terkait dengan power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan listrik, khususnya untuk pembangkit EBT, kalau itu diserahkan ke swasta, maka akan ditolak. Sebab, energi ini sebagai kebutuhan pokok yang harus dikuasai oleh negara, sesuai Pasal 33 UUD NRI 1945.
RUU EBT ini terdiri dari 574 DIM (daftar inventarisasi masalah) dan baru dibahas 100 an DIM. “Menyadari RUU EBT ini sangat penting di tengah perubahan iklim global yang terus memanas, seharusnya menjadi kado saat menjadi tuan rumah G20 atau P20 Oktober 2022 lalu. Dan, kini seharunya cepat diselesaikan,” kata Dyah Roro Esti Widya Putri (Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Golkar).
Hal itu disampaikan Roro – sapaan akrab politisi Golkar itu dalam
diskusi Forum Legislasi “RUU EBT untuk Pengembangan Energi Baru Terbarukan, Adil dan Berkelanjutan” bersama Diah Nurwitasari (Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS), Ali Achmudi Achyak (Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies), dan Ferdy Hasiman (Peneliti Tambang dan Energi Alpha Research Database Indonesia) di Gedung DPR RI Senayan Jalarta, Selasa (13/6/2023).
Power wheeling adalah mekanisme yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit swasta ke fasilitas operasi PLN secara langsung. Khususnya dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.
Lebih lanjut Roro mengatakan sumber energi kita selama ini kurang ramah lingkungan. Baik BBM (fosil) maupun batubara. Untuk itu EBT ini harus mendapat dukungan semua pihak. Selain lebih murah, ramah lingkumgan, dan akan membuka jutaan lapangan kerja. Terlebih saat ini suhu udara terus memanas dan makin buruk, sehingga menganggu pernapasan dan kesehatan lainnya untuk masa depan yang lebih baik.
“Kita harus tunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam transmisi energi. Namun, tak cukup jika hanya bisnis to bisnis melainkan harus dengan payung hukum, yaitu UU. Jadi, narasi emergency EBT ini harus dimasifkan agar DPR bersama pemerintah bisa bekerja lebih cepat,” ungkapnya.
Yang pasti kata Dyah, RUU EBT ini masih dalam pembahasan. Dari 574 DIM, baru 100 an DIM yang dibahas. Karena itu, kalau target selesai pada Juni 2023 ini sesuatu yang tidak mungkin.
Menurut Hasiman, semua negara maju seperti Amerika, China, Rusia, Eropa, dan lain-lain sudah mengurangi batubara hingga 60%, maka RUU EBT sangat diperlukan untuk mendorong percepatan transmisi energi tersebut. Dimana jika masih tergantung energi fosil, maka pada 12 tahun ke depan Indonesia akan mengalami krisis energi.
“Apalagi produksi minyak terus turun hingga 1 juta barel per hari, dan 723 barel per hari di 2022. Sementara kebutuhannya mencapai 1,5 jutaan barel perhari, karenanya kita terus impor BBM. Sedangkan impor gas mencapai 75% dari Timur Tengah untuk LPG. Jadi, peluang emas agar RUU EBT ini segera diselesaikan,” ungkapnya.
Ali Achmudi Achyak menegaskan dalam EBT yang harus disiapkan bahwa EBT ini tidak boleh keluar dari industri (perspektif industri), teknologi, jangan sampai ada power wheeling, dan siapkan ekosistem yang baik agar EBT ini berkelanjutan. Karena itu, baik DIM DPR maupun DIM pemerintah harus dikaji dengan baik.
“Untuk EBT ini harus ada barangnya, teknologi, harganya terjangkau untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, akseptabilitas dan atau diterima lingkungan masyarakat,” tambah Ali.