Fahri Hamzah: Desain Ulang Sistem Pemilu, Termasuk Aturan dan Perangkatnya

oleh
oleh
Waketum DPN Partai Gelora, Fahri Hamzah. (Foto: Istimewa)

JAKARTA, REPORTER.ID – Sistem pemilu yang selama ini digunakan perlu didesain ulang, termasuk aturan dan perangkat pendukungnya. Pasalnya, demokrasi sekarang hanya memfasilitasi adanya pertengkaran-pertengkaran, sehingga tidak ideal lagi digunakan.

Wakil Ketua DPR Periode 2019-2014 Fahri Hamzah mendorong adanya desain ulang sistem pemilu, aturan dan perangkat pendukungnya. Sebab, demokrasi sekarang memfaslitasi adanya pertengkaran, sehingga tidak ideal lagi untuk digunakan.

Dorongan ini disampaikan Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah dalam Diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk ‘DPR Mengawal Demokrasi Menuju Indonesia Maju’ di Media Center Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (25/8/2023).

Pertengkaran-pertengkaran yang tidak ideal itu, menurut Fahri, telah menyebabkan terjadinya politik identitas. Ditambah lagi dengan adanya sosial media, yang menyebabkan pertengkaran itu semakin memanas.

“Orang Amerika dan Eropa saja sudah kewalahan banget soal demokrasi liberal ini, karena terlalu menfasilitasi pertengkaran, semakin nggak efektif. Akhirnya orang berpikir, kalau demokrasi tidak bisa dipakai lagi untuk mengkonsolidasi kesejahteraan,” sebutnya.

Justru, lanjut Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 yang juga mantan Ketua Tim Implementasi Reformasi DPR RI itu, di negara-negara seperti Rusia, Turki dan China, kesejahteraannya bisa terkonsolidasi dengan baik, ada pertumbuhan.

“Ini mereka sebutnya demokrasi, tapi kita menentangnya karena sirkulasi pemimpin, terutama di eksekutifnya itu yang tidak lancar,” ujarnya seraya menilai kalau Indonesia perlu memikirkan desain pemerintahan yang lebih stabil, dan tidak perlu lagi mengeksplor konflik di tingkat bawah seperti yang terjadi sekarang.

Agar tidak ada lagi pertengkaran dan pemilu jauh lebih murah menurut Fahri, masa depan Indonesia sebenarnya ada di Sistem Distrik, dan jika pemilihan presiden dikembalikan di MPR RI pakai Sistem Electoral Colloge seperti di Amerika. Di Amerika itu bukan pemilihan presiden langsung, negara demokrasi juga, dia pakai electoral colloge.

“Harusnya ada dua dapil, Kabupaten/Kota dan Provinsi. Dapil Kabupaten/Kota untuk pemilihan anggota DPR RI, termasuk pemilihan presiden, sehingga tidak akan memunculkan konflik di tingkat nasional. Ini juga yang mendasari kenapa saya setuju Ibu Kota dipindah ke IKN, karena Ibu Kota sekarang terlalu dekat dengan konflik,” sebut dia lagi.

Menurut Fahri, sistem pemilu yang tepat untuk Indonesia adalah Sistem Distrik, dimana untuk DPR di Kabupaten/Kota, sedangkan Peovinsi untuk pemilihan DPD RI.

Dalam Sistem Distrik ini, Provinsi menjadi dapil DPD RI, sehingga sekaligus untuk memperkuat kelembagaan DPD RI di tengah desakan untuk membubarkan.

“Jadi mendesain ulang sistem pemilu, inilah yang menjaga demokrasi ke depan. Sebab, tidak bisa hanya memperbaiki DPR RI, demokrasi jadi baik,” katanya.

Selain itu, sistem kepartaian saat ini agak keliru dalam demokrasi. Sebab, kekuatan itu ada di pejabat publik, apalagi di dalam  presidensial tidak boleh ada institusi yang mengendalikan negara dari belakang layar.

“Diatur-atur dari belakang adalah bentuk terpedo dan kudeta terhadap presiden dalam negara demokrasi. Pejabat publik itu harus transparan, kalau terlalu banyak dapurnya yang tidak kelihatan, itu akan mengganggu pertanggungjawaban. Itu yang tidak boleh kita biarkan ke depan, makanya kita kembalikan sistemnya bahwa yang berdaulat itu, adalah orang yang dipilih oleh rakyat termasuk di DPR RI,” tegasnya.

Karena dipilih oleh rakyat, maka anggota DPR RI tidak boleh memiliki loyalitas ganda, selain kepada konstituennya. Ia menegaskan, wakil rakyat adalah wakil rakyat, bukan wakil partai, sehingga partai politik tidak bisa semena-semena melakukan pemberhentian terhadap anggota DPR RI.

“Jadi menurut saya, ke depan itu, yang bisa menjamin adalah adanya satu sistem yang lebih stabil dan dinamis. Jangan sampai kita terkunci, kita terjebak seperti Orde Baru. Reformasi parlemen juga perlu dimatangkan lagi, dulu sudah pernah kita serahkan ke Tim DPR dan MPR. Sehingga masing-masing demokrasi harus ditata dan dikelola dengan satu sistem,” pungkas Caleg Partai Gelora Indonesia untuk Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) I itu. ***