JAKARTA,REPORTER.ID – Anggota Komisi VI DPR RI FPAN Intan Fauzi menegaskan untuk mengantisipasi bisnis dan jual beli di media sosial seperti tiktok dan lain-lain, maka Kemendag RI merevisi Permendag No.50 tahun 2020 diharapkan bisa mengatasi maraknya jual beli di medsos tersebut. Karena jual beli itu mengancam pasar lokal dan E-commerse lain yang memiliki izin resmi dan membayar pajak kepada negara.
Revisi itu mengingat penggunaan media sosial makin marak digunakan untuk menjual barang-barang sebagaimana dilakukan oleh marketplace lazzada, tokopedia, bukalapak, shoppee dan lain-lain. Medsos juga mengancam eksistensi UMKM di pasar lokal, sehingga Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI sedang merevisi Permendag RI No.50 tahun 2020. Revisi ini hanya tinggal penomoran saja, dan minggu depan akan selesai.
Demikian disampaikan Intan Fauzi dalam dialektika demokrasi bertema “Aturan Social Commerce dan Nasib UMKM” bersama anggota Komisi VI DPR RI, Amin AK (FPKS), Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero dan Praktisi Media, Agus Eko Cahyono di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Lebih lanjut Intan menilai jika penjualan online, marketplace berbeda dengan medsos, yang berkembang menjadi starup ritil online sekarang ini. “Jadi definisi E-commerse ini yang menjadi masalah besar. Jangankan UMKM, pengusaha besar saja tak bisa bersaing. Yang menjadi massalah E-Commerse ini, maka revisi menjadi suatu keharusan. Jangan sampai jual beli di medsos menabrak aturan yang lain. Sementara Permendag ini untuk melindungi UMKM dan sudah berkoordinasi dengan Menkominfo, Menteri UMKM, Perindustrian, dan lain-lain,” ujarnya.
Menurut Intan, yang namanya media sosial tak boleh melakukan transaksi, seperti Televisi, ada iklan tapi tak boleh melakukan transaksi. E-Commerse di medsos itu murah karena mereka tidak membayar pajak, tak ada izin usaha dan lain-lain. Karena itu dengan Permendag ini pelaku usaha dari luar negeri pun tetap harus melalui E-commerse, harus punya izin usaha, bayar pajak masuk, harus jelas asal negaranya dan minimal nilai transaksinya 100 dollar AS. Hal itu agar era digital ini tetap berpihak pada UMKM yang mencapai 97%. Namun, kita juga tak bisa menutup barang masuk yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri seperti alat-alat kereta api cepat.
Selain itu kata Intan, sosial commerse juga tak boleh dipakai untuk produksi. Sedangkan negara-negara yang sudah melarang tiktok adalah Amerika Serikat, India, Uni Eropa, Kanada, Taiwan, Latvia, Denmark, Belgia, Inggris, Selandia Baru, Australia dan lain-lain.
Amin AK mengatakan memang di era digital ini tak bisa ditolak, karena di satu sisi menguntungkan, tapi berdampak negatif bagi pasar tradisional dan UMKM yang mencapai 64 juta dan menyediakan 97% angkatan kerja, berkonstribuai 60% pada PDB dan terbukti tahan krisis. Tiktokshop ini bukan masalah E-commerce-nya, tapi soaial commerce nya yang digunakan untuk berjualan ini tidak fair. “Sudah ada algoritma, data kebutuhan konsumen dan lain-lain. Terlebih mempunyai follower – pengikut yang jumlahnyan jutaan orang. Maka, wajar kalau Tanah Abang yang menjadi rujukan pasar nasional dan internasional itu terpukul, sepi.
Untuk itu, Amin AK minta pemerintah cepat merespon, karena punya segalanya. Punya otoritas, aparat, infastruktur lengkap dan uang. “Antisipasi itu jangan sampai UMKM dan pasar tradisional berguguran. Karena itu, kementerian ( Kemendag, Koperasi UKM dan Perinudustrian) harus berpihak pada UMKM,” tambahnya.
Edy Misero meminta agar pemerintah dan pihak-pihak terkait duduk bersama untuk mengadapi era digital, pasar online dan offline sekarang ini. “Jangan sampai UMKM dan pasar lokal kollaps. Sebab, kalau kollaps, maka perekonomian nasional juga akan ambruk,” tambahnya.
Dikatakan, barang-barang murah bisa disebabkan.di negara asalnya sudah over produksi, ilegal, lalu negara dimana? Pemerintah sebagai regulator harus tahu barang-barang yang masuk dan harus menang dalam pertempuran ini dan masyarakat juga harus cinta produk dalam negeri, agar Indonesia menjadi negara kuat ke-4 dunia di 2045 nanti.
Sementara itu Agus Eko Cahyono menilai memang fenomena baru era digital ini, sehingga banyak artis ikut-ikutan jualan di medsos. “Jelas ini bisa menggerus UMKM dan produk lokal. Bahkan markeplace resmi juga terancam. Karena itu revisi Permendag RI No.50 tahun 2020 itu harus ada sanksi yang berat, agar tak ada monopoli dan mengancam UMKM,” ungkapnya.