JAKARTA,REPORTER.ID – Meski pemilu 2024 diharapkan berlangsung damai dan menghasilkan pemimpin yang diharapkam dan dicintai rakyat, namun mencermati proses politik yang ditandai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait mulusnya pencawapresan Gibran Rakabuming Raka, pemasangan atribut partai yamg belum waktumya, pengerahan kepala desa dan dugaan kuat aparat tidak netral untuk mendukung capres – cawapres tertentu, justru itulah yang akan menjadi pemicu terjadinya konflik politik pada pilpres 2024 ini.
Demikian yang mengemuka dalam dialektika demokrasi dengan tema “Pemilu Berlangsung Damai akan Melahirkan Pemimpin Penuh Kedamaian” bersama Anggota Komisi II DPR RI FPAN Guspardi Gaus dan pengamat politik dari Unpad Bandung Idil Akbar di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (30/11/2023).
Gauspardi mengatakan sejak awal Komisi II DPR RI sudah keras agar Bawaslu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu harus taat aturan dan tegas memberikan sanksi bagi peserta pemilu yang melanggar. “Saya di Komisi II DPR sudah dengan keras agar Bawaslu dan KPU tegakkan aturan dan tidak tebang pilih, karena ini tidak adil dan akan menimbulkan konflik sosial politik. Tapi, pers juga berperan besar agar pemilu ini berjalan luber, jurdil dan demokratis,” ujarnya.
Karena itu kata Gauspardi, kunci agar pemilu dan pilpres ini berlangsung damai adalah Bawaslu dan KPU taat aturan dan menegakkan aturan itu bagi peserta pemilu yang melanggar aturan. “Jangan tebang pilih, agar pemilu ini menghasilkan pemimpin.yang benar-benar berkualitas, berintegritas, berkapasitas dan sesuai harapan rakyat banyak,” katanya.
Dia mengingatkan bahwa KPU dan Bawaslu ada karena amanat UU. Kalau amanat UU, maka harus menegakkan UU itu sendiri. Dan, yang terpenting lagi masyarakat harus menjadi pemilih yang cerdas; tahu rekam jejak, track record capres-cawapres, visi misinya untuk membangun bangsa ini, komitmen terhadap NKRI dan prestasinya selama menjabat sebagai aparatur negara selama ini dan seterusnya.
Idil Akbar juga pesimis pemilu 2024 ini akan berlangsung damai, jika drama politik sudah dimulai dengan pelanggaran etik berat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, hanya demi ponakannya Gibran Rakabuming Raka untuk bisa maju sebagai cawapres. Ditambah pemasangan atribut partai yang belum waktunya dan di wilayah protokol yang dilarang UU, pengerahan kepala desa, dugaan terlibatnya oknum aparat, ada ASN yang digiring untuk mendukung capres tertentu dan sebagainya.
“Belum lagi money politics, pemasangan APK (alat peraga kampanye) di tempat-tempat ibadah, sekolah dan lain-lain. Juga data pemilih KPU yang bocor. Lalu dimana peran Bawaslu RI? Jadi KPU dan Bawaslu jangan hanya jadi wacthdog, penjaga malam saja. Kan UU sudah menugaskan kedua penyelenggara pemilu itu untuk menegakkan aturan, tapi mana?” tanya Idil kecewa.
Idil mengakui baru pafa pemilu kali ini diawali dengan berbagai intervensi dengan merusak konstituai dan ini yang paling fatal. “Saya tidak melihat literatur – literatur politik itu di pemilu 2014 dan 2019. Saya tak ingin pemilu ini terjadi konflik, tapi bagaimana kemudian proses pemilu ini akan damai kalau cara-cara yang dibangun oleh para politisi hari ini justru tidak menunjukkan cara-vara yang damai, tidak fair, tidak adil, lalu mencoba untuk mengambil posisi yang lebih tinggi terhadap calon-calon lain dan lain sebagainya, kan tidak fair,” jelasnya.
Selain itu, Idil berharap para capres-cawapres ini serius dalam berkampanye karena ini persoalan kepemimpinan bangsa dan negara. “Masak capres gimik, joget-joget dan sebagainya itu. Kita ini sedang mencari pemimpin negara, bukan gemoy-gemoy,” pungkasnya.