Oleh: Fahri Hamzah (Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia)
DARI dialog saya dengan masyarakat, saya temukan ada dua ekstrim berpikir yang perlu ditanggapi. Pertama, mereka yg marah karena pak Prabowo masuk kabinet dan kedua mereka yang marah karena pak Jokowi tidak mendukung calon mereka. Atas 2 ekstrem ini intinya Prabowo-Jokowi menyebalkan.
Tapi, kedua ekstrim ini sebenarnya bisa kita urai dengan suatu dialog yang agak mendalam sifatnya. Mudah karena faktanya kedua duanya bersumber dari pandangan yang agak emosional alias tidak rasional. Maka jika rasionalitas argumen mereka ditagih kita tidak akan dapatkan.
Karena itulah apabila kita memulai menyusun argumen yang rasional, cukup banyak yang berubah dan menyetujui rekonsiliasi antar pak Prabowo dan pak Jokowi. Dan inilah yang menciptakan mayoritas pemilih sekarang berada di tengah yaitu mereka yang sadar bahwa rekonsiliasi pak Prabowo dan pak Jokowi pasca Pemilu 2019 lalu adalah sikap kenegarawanan yang besar.
Hal itu tidak saja karena rekonsiliasi itu sendiri adalah jalan yang baik tetapi juga yang lebih penting adalah karena setelah itu akibatnya luar biasa bagi bersatunya kapasitas nasional menghadapi tantangan tantangan global yang tidak mudah, mulai Covid-19, ketegangan laut China Selatan, perang Rusia-Ukraina dan sekarang perang di Timur Tengah.
Kelompok pertama yang katakanlah kita sebut sebagai kelompok kanan, marah dan menjadi tidak rasional karena Prabowo akhirnya bergabung dengan pak Jokowi. Saya bertanya kenapa rekonsiliasi ini dianggap buruk? Sebenarnya tidak ada jawaban. Hanya kemarahan karena jago-nya akhirnya bergabubg dengan ‘musuh’.
Pada kelompok ini, terlalu banyak kosa kata yang sulit dijelaskan karena adanya doktrin ideologis tentang pembelahan politik aliran yang sudah terjadi sejak awal dalam tubuh bangsa kita secara emosional. Tidak berarti buruk, tetapi menariknya ke titik ekstrem bisa membuat kita tidak rasional.
Maka upaya rekonsiliasi dicurigai sebagai kelemahan dan semacam penghianatan yang dilakukan karena bergabung dengan ‘musuh’. Padahal dalam sebuah bangsa besar dan majemuk seperti Indonesia ini, mentalitas bersatu dan bergabung untuk kepentingan nasional tidak saja terpatri dalam sila ketiga Pancasila, tetapi juga merupakan harus menjadi kesadaran dasar yang penting.
Indonesia memerlukan sampai kapanpun mentalitas moderat yang melihat bahwa perbedaan yang ada diantara kita bukanlah perbedaan untuk saling meniadakan tetapi beragamnya jalan baik yang ingin kita tempuh untuk memperbaiki keadaan.
Itulah pentingnya sikap moderat dalam politik modern. Pemilu tidaklah seperti perang perebutan kekuasaan pada zaman pedang dan mesiu di mana prinsipnya adalah ‘membunuh atau terbunuh’. Dalam demokrasi, kompetisi pemilu adalah sarana untuk meyakinkan rakyat tentang gagasan terbaik dan calon terbaik untuk memimpin negeri.
Pada kelompok kiri (sebut saja demikian), perbedaanya tidak terletak pada ideologi politik aliran, tetapi lebih oleh adanya partai besar yang kecewa dan melampiaskan kekecewaanya pada presiden dan keluarganya. Makin lama, jumlah mereka mengecil oleh sikap rakyat yang berbeda.
Secara prinsip, kemarahan kelompok kiri lebih karena sikap politik jokowi yang dianggap ‘berkhianat’ kepada partai padahal, sudah lama kita menganut paham dalam demokrasi bahwa loyalitas seorang presiden lebih utama adalah kepada negara bukan kepada partai.
Maka, argumen kepada mereka yang di sebelah kiri adalah untuk kembali menguatkan pandangan yang nasionalistik bahwa persatuan antara Prabowo dan Jokowi adalah panggilan sejarah nasional untuk memantapkan konsolidasi Indonesia menyongsong Indonesia Emas 2045.
Saya percaya bahwa argumen konsolidasi nasionalis ini akan jauh lebih kuat meninggalkan sentimen kepartaian yang dangkal dan emosional. Karena itulah dugaan saya, Prabowo akan terus mendapatkan dukungan yang lebih besar dari kiri yang bergerak ke tengah. ***