Jokowinomics, Blusukan, dan DPD RI

oleh
oleh

Fadel Muhammad (net)

Oleh: Fadel Muhammad

 

Menjelang berakhirnya masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), istilah “Jokowinomics” kembali mengemuka. Jokowinomics mengacu pada garis kebijakan bidang ekonomi di era Presiden Jokowi yang merupakan gabungan dari dua kata, yakni “Jokowi” dan “Economics”.

Istilah tersebut mengacu pada istilah serupa dari belahan dunia menyangkut kebijakan ekonomi dari presiden yang berkuasa, khususnya di negara-negara maju seperti di AS dengan munculnya istilah Nixonomics (era Presiden AS Richard Nixon), Reaganomics (Ronald Reagan), Obamanomic (Barack Obama), hingga di Inggris, Thatchernomics (Margaret Thatcher).

Istilah Jokowinomics (demikian juga dengan Nixonomics, Reaganomics, Obamanomics, dan Thatchernomics) bukanlah istilah resmi, melainkan diberikan oleh sejumlah kalangan dengan pertimbangan tertentu. Selain itu, tidak semua presiden disematkan namanya pada istilah kebijakan ekonomi yang dijalankannya.

Demikian juga, meskipun banyak kalangan memberikan istilah sejenis sebagai flagship untuk pemimpin negaranya, katakanlah “presidentomics”, belum tentu diterima masyarakatnya. Salah satu keterkaitan mengenai penerimaan istilah tersebut adalah karena menonjolnya kebijakan ekonomi pemimpin bersangkutan, baik diterima dengan baik maupun mendapat kritikan tajam (sindiran) dari kalangan yang luas.

Jokowinomics

Meskipun secara samar-samar istilah Jokowinomics kerap kita dengar, gaungnya kembali muncul ketika calon presiden Prabowo Subianto menyinggung istilah Jokowinomics saat menjadi pembicara pada Seminar Ekonomi Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI) pada Agustus 2023. Prabowo menilai, Jokowinomics merupakan aplikasi nyata dari Ekonomi Pancasila yang fokusnya adalah menyejahterakan masyarakat.

Bentuk konkretnya, menurut Prabowo, adalah Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Sembako, Program Keluarga Harapan, dan BLT Dana Desa. Sebagian besar program itu adalah untuk membantu masyarakat kecil, yang menurutnya, akan terus dilanjutkan jika ia (Prabowo) terpilih menjadi Presiden RI ke-8. Apakah ini akan melahirkan “Prabowonomics”?

Terkait Jokowinomics, saya meyakini bahwa salah satu pendorongnya adalah model blusukan Presiden Jokowi yang khas. Begitu khasnya, sampai-sampai Presiden Jokomi hampir identik dengan seringnya melakukan blusukan. Tak banyak pemimpin yang mau blusukan karena itu berarti harus turun ke lapangan hingga mencapai daerah yang paling tertinggal sekalipun dengan harus melewati jalan berlumpur.

Dengan begitu Presiden bisa melihat kondisi sebenarnya dan merasakan sulitnya menempuh medan yang kumuh sekaligus bisa langsung mendengar keluh-kesah masyarakat yang dikunjungi. Mungkin ini yang ikut mendorong Presiden untuk tetap konsisten melakukan pembangunan infrastruktur di mana-mana karena ikut merasakan kesulitannya, yang oleh beberapa ahli, hingga di luar negeri, menjadi salah satu komponen dari “kekhasan” Jokowinomics yakini masifnya pembangunan infrastruktur.

Dari catatan yang saya peroleh, dengan blusukan, Presiden terpanggil rasa empatinya pada masyarakat di daerah. Kemudian, sebagai bentuk kepedulian langsungnya, Presiden datang blusukan dengan membawa bantuan ril. Sebulan setelah dilantik pada Oktober 2014, Presiden Jokowi blusukan ke Banten, Lampung, dan Bengkulu dengan memberikan bantuan traktor untuk masyarakat petani, sembako, dan uang.

Dua hari kemudian blusukan ke Kebonjahe, Sumatera Utara, dengan membagikan Rp500.000/keluarga, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sejahtera. Dan seterusnya. Masyarakat yang dikunjunginya tentu senang karena mereka tidak perlu menunggu waktu distribusi bantuan tersebut yang pada umunya harus melewati distribusi berjenjang, melainkan langsung diterima dari tangan Presiden.

Kita sering mendengar satire bahwa dengan wilayah Indonesia yang begitu luas, program pembangunan tidak menjangkau wilayah terdalam dan terjauh karena jarang dikunjungi Presiden atau kepala daerah setempat. Dari catatan pembangunan mungkin terlihat ada anggarannya. Namun, tidak bisa dipungkiri, banyak masyarakat di daerah yang terabaikan meskipun secara statistik sudah dianggarkan pembiayaan pembangunannya.

Ada kalanya anggaran yang sampai, dalam pelaksanaannya sudah disunat banyak pihak karena melalui prosedur penganggaran yang berjenjang. Masih banyak masalah lain yang dihadapi di daerah. Intinya, masalah realisasi pembangunan di daerah selalu berhubungan dengan masalah dalam hal tata kelola pemerintahan yang efektif, transparan, akuntabel, dan terpercaya.

Apakah dengan blusukan ala Jokowinomics bisa mengatasi aneka permasalahan tersebut? Tentu harus ditelaah dengan kritis. Presiden, siapa pun presidennya, tidak mungkin tiap saat blusukan. Tetapi hal yang perlu dicermati adalah blusukan seorang pemimpin, presiden atau kepala daerah, menjadi salah satu cara untuk mendengar dan melihat langsung kondisi yang sebenarnya.

Sudah sering kita mendengar istilah laporan asal bapak senang, yakni laporan yang diterima presiden atau kepala daerah tampak baik-baik saja, namun saat dikunjungi (blusukan) justru tak baik-baik saja. Masukan langsung itu bisa membantu pemimpin bersangkutan dalam mengimplementasikan kebijakannya yang sebelumnya kurang efektif.

Sebagai tindak lanjutnya, seringkali Presiden Jokowi melakukan intervensi sehabis pulang blusukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Atau kerap melakukan blusukan setelah mengeluarkan kebijakan tertentu untuk mengecek bagaimana implementasinya di lapangan. Ketika inflasi melonjak tinggi pada tahun 2022, Presiden menginstruksikan agar pemerintah pusat dan daerah melakukan kerja sama, juga mendorong akan terjadi kerja sama antar-pemerintah daerah untuk sama-sama mengatasi lonjakan inflasi.

Setelah itu melakukan blusukan ke berbagai daerah untuk mengecek perkembangannya. Dalam catatan saya, blusukan Presiden Jokowi berdampak pada lahirnya intervensi terbatas pemerintah (Limited State Intervantion – LSI). LSI dilakukan setelah mendengar keluhan dan masukan dari daerah serta melihat langsung kondisi sebenarnya. Bentuknya berupa intervensi pasar, peringatan keras pada kepala daerah atau instansi tertentu, mengeluarkan kebijakan susulan, memberikan bantuan langsung, dan sebagainya.

Local Collaborative Governance

Kombinasi antara blusukan dan LSI merupakan salah satu implementasi dari model pemerintahan modern. Jika hal ini diterapkan dalam pengelolaan pemerintah daerah, akan meningkatkan performa pemerintah daerah yang secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah bersangkutan. Ini adalah salah satu bentuk praktik model “Local Collaborative Governance” (LCG), suatu model pengelolaan pemerintah daerah modern yang oleh banyak ahli dianggap solusi pemerintahan daerah masa kini dan masa depan. Kolaborasi dilakukan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder) di daerah yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Kolaborasi ini antara lain dilakukan melalui interaksi formal dan informal dalam forum-forum tertentu. Bentuk kolaborasi ini sesungguhnya sudah lama muncul dan dalam beberapa hal sudah dipraktikkan. Namun kurang atau tidak optimal dalam melakukan tindak lanjutnya oleh pemerintah daerah.

Beberapa kemungkinannya, pertama, pemerintah daerah (c.q. kepala daerah) kurang empati pada kondisi di daerahnya karena kurang memahami kondisi sebenarnya akibat tidak pernah atau kurang melakukan blusukan.

Kedua, saat diskusi dalam forum kolaborasi, pihak pemerintah daerah (c.q. kepala daerah) kurang berperan optimal karena kurang informasi akibat kurang atau tidak pernah blusukan. Hal yang perlu dicermati adalah bahwa pelaksanaan LCG membutuhkan aturan tersendiri karena banyak kepala daerah yang bingung dan gamang bahkan mungkin tidak tahu dan tidak mengerti, apalahi mempraktikannya. Di sinilah dibutuhkan peran DPD RI.

Sebagai lembaga legislatif yang konstituennya daerah, DPD harus mampu memberikan panduan dengan membantu melahirkan peraturan atau undang-undang beserta pengawasannya terkait pelaksanaan LCG tersebut. PR (pekerjaan rumah) yang dihadapi saat ini baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun DPD RI, adalah: 1. Bisakan blusukan menjadi salah satu kanal bagi pemerintah daerah (c.q. kepala daerah) untuk menambang informasi langsung dari masyarakatnya (kanal komunikasi kepala daerah dan masyarakatnya) untuk menunjang keberhasilan proses pembangunan di daerah? Jika sepakat, aturan apa yang harus disiapkan? 3. Di mana peran DPD RI dalam merealisasikan hal tersebut? Hal ini membutuhkan pemikiran progresif karena tantangan menjalankan tata kelola pemerintah saat ini berbeda dengan dekade-dekade lalu.

Dengan banyaknya saluran informasi (terutama media sosial), di satu sisi menguntungkan karena masyarakat bisa langsung melaporkan kepada kepala daerah bersangkutan bahkan Presiden untuk ditindaklanjuti, di sisi lain, banyak informasi yang terdistorsi oleh kepentingankepentingan tertentu sehingga sering kali kepala daerah harus turun langsung melakukan blusukan untuk mengeceknya. (Penulis adalah Wakil Ketua MPR RI, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, mantan Gubernur Provinsi Gorontalo,mantan Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, mantan Anggota DPR RI, mantan Ketua Dewan Pembina Badan Kerjasama Pembangunan Regional se-Sulawesi/BKPRS, mantan Wakil Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, mantan Ketua Dewan Jagung Indonesia)