JAKARTA, REPORTER.ID – Dunia peradilan Indonesia kembali tercoreng setelah Kejaksaan Agung (Kejakgung), menetapkan empat hakim sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait vonis lepas terhadap terdakwa perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Nama-nama yang terseret dalam pusaran skandal ini termasuk Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, serta tiga hakim lainnya: Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtaro. Keempatnya diduga menerima suap untuk memutus bebas terdakwa dalam perkara yang menyita perhatian publik tersebut.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Aboe Bakar Al Habsyi, menyebut kasus ini sebagai tamparan keras terhadap integritas lembaga peradilan.
“Mafia peradilan adalah ancaman serius yang merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum kita,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (16/4/2025).
Habib Aboe, yang juga menjabat Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI itu, mendukung penuh langkah Kejaksaan Agung untuk membongkar praktik jual beli putusan. Ia juga mendesak Mahkamah Agung memperkuat pengawasan internal serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap integritas para hakim.
“Komisi Yudisial harus aktif mengawasi para hakim. Ini adalah preseden buruk. Penanganan perkara korupsi yang justru melahirkan korupsi baru menunjukkan adanya kelemahan sistemik yang harus segera dibenahi,” tambahnya.
Ia mengingatkan, jika negara gagal melawan mafia peradilan, maka itu merupakan aib besar. “Negara harus menunjukkan ketegasan dan komitmen dalam menegakkan hukum dan keadilan.”
Rangkaian Suap Terstruktur
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, mengungkap kronologi kasus dalam konferensi pers, Senin (14/4/2025). Menurut Qohar, pengacara terdakwa CPO, Ariyanto Bakri, menghubungi Wahyu Gunawan — panitera muda di PN Jakarta Utara — untuk mengatur vonis bebas bagi kliennya.
Permintaan tersebut disampaikan Wahyu kepada Muhammad Arif Nuryanta, yang kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Nuryanta menyetujui permintaan tersebut dengan imbalan sebesar Rp60 miliar, yang akan dibagikan kepada tiga hakim dalam majelis.
Uang pertama senilai Rp4,5 miliar diberikan dalam bentuk dolar AS sebagai “uang membaca berkas perkara”. Selanjutnya, diberikan lagi uang tahap kedua senilai Rp18 miliar dengan pembagian: Djuyamto sebesar Rp6 miliar, Agam Syarif Rp4,5 miliar, dan Ali Muhtaro Rp5 miliar.
Majelis hakim yang ditunjuk kemudian menjatuhkan putusan onslag atau vonis lepas kepada terdakwa pada 19 Maret 2025 lalu. Keputusan tersebut kini menjadi fokus utama penyidikan.
Ketiga hakim dijerat dengan Pasal 12 huruf C jo Pasal 12 huruf B, jo Pasal 6 ayat (2), jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2021, serta Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Jika terbukti bersalah, mereka terancam hukuman berat sesuai ketentuan undang-undang tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia. ***